MAKALAH
Diajukan
untuk memenuhi tugas kelompok Mata Kuliah Kemuhammadiyahan I yang diampu oleh
Drs.Rasyid Siddiq, M.Pd.I
Disusun
Oleh : Kelompok IV
Amirul
mukminin 14320043
PROGRAM PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADYAH METRO
2015/2016
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum
Wr.Wb
Dengan
memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT,atas berkah, rahmat, dan hidayah
yang telah dilimpahkan-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini
yang berjudul “Corak Islam dinusantara dan Kedatangan dan Penjajahan Bangsa
Barat dinusantara”
Terimakasih
kami ucapkan kepada Drs. Rasyid Siddiq, M.Pd.I yang telah memberikan tugas ini
sebagai bahan untuk mengikuti mata kuliah Al-islam 1. Rasa sayang kepada kedua
orang tua yang tiada henti memberikan
motivasi untuk kami sehingga memiliki semangt lebih dalam belajardan
berusaha
Tidak
ada gading yang tak retak, begitupula dengan penyusunan makalah ini,kami
menyadari masih begitu banyak kekurangan didalamnya dan sangat jauh dari
kesempurnaan. Hal tersebut dikarenakan masih terbatasnya kemampuan dan
pengetahuan kami. Oleh karena itu kami masih sangat mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun untuk perbaikan kami diwaktu mendatang.
Kami
berharap makalah ini dapat bermanfaat begi kami pada khususnya, dan bagi
masyarakat pada umumnya.
Wassalamualaikum
Wr.Wb
Metro,
1 OKTOBER 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB
I PENDAHULUAN
Latar belakang............................................................................................... 1
Rumusan Masalah......................................................................................... 1
Tujuan Makalah............................................................................................. 1
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Corak dan
perkembangan islam diindonesia.......................... 2
2.1 Corak Awal Islam Nusantara Sampai Awal Abad Ke-17........... 4
2.2 Kedatangan dan Penjajahan Bangsa Barat di
nusantara............. 8
BAB
III PENUTUP
3.1 kesimpulan.................................................................................. 9
3.2 Saran............................................................................................ 19
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Sejak awal
masehi kawasan Nusantara telah berfungsi sebagai jalur lintas perdagangan bagi
kawasan Asia Barat, Asia Timur dan Asia Selatan. Kedatangan Islam di Nusantara
penuh dengan perdebatan, terdapat tiga masalah pokok yang menjadi perdebatan
para sejarawan. Pertama, tempat asal kedatangan Islam. Kedua, para pembawanya.
Ketiga, waktu kedatanganya.
Namun, Islam telah masuk, tumbuh dan
berkembang di wilayah Nusantara dengan cukup pesat. Mengingat kedatangan Islam
ke Nusantara yang pada saat itu sudah memiliki budaya Hindu-Budha. Maka hal ini
sangat menggembirakan karena Islam mampu berkembang di tengah kehidupan
masyarakat yang telah memiliki akar budaya yang cukup kuat dan lama.
Kedatangan Islam ke wilayah Nusantara
mengalami berbagai cara dan dinamika, antara lain dengan perdagangan,
pernikahan, sosial budaya, dan sebagainya. Hal ini menyebabkan pertumbuhan dan
perkembangan Islam di wilayah ini memiliki corak tersendiri.
Dalam makalah ini, penulis membahas
tentang corak awal Islam Nusantara sampai awal abad ke-17.
1.2. Rumusan Masalah
1.Bagaimanakah corak awal islam sampai awal abad ke 17
2. Bagaimana kedatangan dan penjajahan bangsa barat dinusantara
1.3. Tujuan makalah
1.Mengetahui corak awal islam sampai awal abad ke 17
2.Mengetahui kedatangan dan penjajahan bangsa barat dinusantara
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Corak dan Perkembangan Islam
diIndonesia
Masa
Kesulthanan
Untuk melihat lebih jelas gambaran keislaman di kesulthanan atau kerajaan-kerajaan
islam akan diuraikan sebagai berikut
Di daerah
daerah yang sedikit sekali disentuh olehkebudayaan hindu budhaseperti daerah-daerah
aceh dan minangkabaudi sumatra dan banten dijawa, agama islam secara mendalam
mempengaruhi kehidupan agama, sosial dan politik penganut-penganutnya sehingga
di daerah-daerah tersebut agama islam itu telah menunjukan diri dalam bentuk
yang lebih murni.
Di
kerajaan banjar, dengan masuk islamnya raja, perkembnagan islam selanjutnya
tidak begitu sulit karena raja menunjangnya dengan fasilitas dan kemudahan
kemudahandan hasilnya membawa kepada kehidupan masyarakat banjar yang
benar-benarbersendikan islam. Secara konkrit kehidupan dikerajaan banjar
inidiwujudkan dengan adanya mufti dan aqdi atas jasa Muhammad Arsyad Al-banjari
yang ahli dalam bidang fiqih dan tasawuf. Di kerajaan ini telah berhasil
mengkodifikasi hukum-hukum yang sepenuhnya beroreantasi pada hukum islam yang
dinamakan undang undang sultan adam. Dalam undang undang ini muncul kesan bahwa
kedudukan mufti sama dengan mahkamah agung sekarang yang bertugas mengontrol
dan kalo ada perlu berfungsi sebagai lembaga untuk naik bandingdari mahkamah
biasa. Tercatat dalam sejarah banjar diberlakukannya hukum bunuh bagi orang
yang murtad dan hukum potong tanga bagi
pencuri dan mendera bagi yang kedapatan
berzina.
Guna
memadu penyebaran agama islamdipulau jawa maka dilakukan upaya agar isalam dan
tadisi jawa dimainkan satu denagn yang lainya , serta dibangun masjid sebagai
pusat pendidikan islam
Dengan
kelonggaran-kelonggaran tersebut, tergeraklah petinggi dan penguasa kerajaan
untuk memeluk islam. Bila penguasa memeluk islam serta memasukkan islam
kedaerah kerajaanya , rakyat pun akan memeluk islam.dan akan melaksanakan
ajaranya. Begitu pila kerajaan-kerajaan yang berada dibawah kekuasaanya. Ini
seperti ketika dipimpin oleh sultan Agung. Ketika sultan Agung masuk islam,
kerajaan-kerjaan yang ada dibawah mataram ikut pula masuk islam seperti kerajaan
cirebon, priangan dan lain sebaginya. Lalu Sultan Agung menyesuaikan seluruh
tata laksana kerajaan dengan istilah keislaman meskipun kadang kadang tidak
sesuai dengan srtti sebenarnya.
Masa
Penjajahan
Di tengah- tengah proses transformasi sosial yang relatif damai itu
datanglah pedagang pedangan barat yaitu portugis kemudian spanyol disusul
belanda dan inggris , Tujuannya adalah untuk menaklikan kerajaan-kerajaan islam
di iondonesiadi sepanjang pesisir dikepulauan nusatara
Pada
mulanya mereka datang keindonesia untuk menjalin persaudaraan dagang karena
indonesia kaya akan rempah-rempah, namun kemudian mereka ingin memonopoli
perdagangan tersebut dan menjadi tuan bagi bangsa indonesia.
Apalagi
setelah kedatangan Snouck Hurgeronye yang ditugasi sebagai penasehat
urusanpribumi dan arab, pemerintah hindia belanda lebih berani membuat
kebijaksanaan mengenai masalah islam diindonesia karena snock memileiki
pengalaman dalam penelitian lapangan di Negri arab, jawa, dan aceh kemudian ia
mengemukakan gagasanya yang dikenal dengan politik islam diindonesia. Dengan
politik itu ia membagi masalah islam dalam dalam 3 kategori :
Bidang
agama murni atau ibadah
Bidang
sosial dan kemasyarakatan
Politik
Terhadap
bidang agama murni , pemerintah kolonial memberiakan kemerdekaan kepada umat
islam untuk melaksanakan ajaran agamanya sepanjang tidak menggangu pemerintahan
belanda.
Dalam
bidang kemasyarakanta , pemerintah memanfaatkan adat kebiasaaan yang belaku sehingga
pada saat dicetuskan teori untuk membatasi keberlakuan hukum islam, yakni teori
reseptie yang maksudnya hukum islam yang baru bisa diberlakukan apabila tidak
bertentangan denga adat kebiasaan . oleh karena itu terjadi kemerdekaan hukum
islam.
Sedangkan
dalam bidang politik pemerintah memlarang keras orang islam membahas hukum
islam baik dari alquran maupun sunnah yang menerangakn tentang politik
kenegaraan atau ketatanegaraan.
Gerakan
dan Organisasi Islam
Akibat dari “recep politik islam”nya snouck Hurgronye itu, menjelang
permulaan abad XX umat islam indonesia yang jumlahnya semakin bertambah
menghadapi tiga tayangan dari pemerintah hindia belanda, yaitu : politik devide
etimpera, politik penindasan dengan kekerasan dan politik menjinakan melalui
asosiasi
Namun,
ajaraan islam pada hakiktnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakan begitu saja.
Dengan pengalaman tersebut, ornag islam bangkit denagn menggunakan taktik baru,
bukan dengan pelawanan fisik tetapi dengan membnagun organsasi. Oleh karena
itu, masa terakhir kekuasaan belanda diIndonesia ditandai dengan tumbuhnya
kesadaran berpolitik bagi bangsa indonesia, sebagai hasil perubaha-perubahan
sosial dan ekonomi, danpak dari pendidikan barat, serta gagasan-gagasan, aliran
pembaruan islam dimesir.
Akibat
dari situasi ini, tumbuhlah perkumpulan-perkumpulan politik baru dan muculah
pemikir-pemikir politik yang sdar diri. Karena persatuan dalam syariak-syarikat
islam , yakni hanya orang indonesia yang beragama islamlah yang dapat diterima
dalam organisasi tersebut, para pejabat dan pemerintahan (pangreh praja)
ditolak dari keanggotaan itu.
Selanjutnya
persaingan antara partai-partai politik itu mengakibatkan putusnya hubungan
antara pemimpin islam, yaitu santri dan para pengikut tradisi jawa dan abangan.
Dikalangan santri sendiri, dengan lahirnya gerakan pembaruan islam dari mesir
yang mengompromikan rasionalisme barat dengan fudamentalisme islam, tlah
menimbulkan perpecahan sehingga sejak itu dikalangan kaum muslimin terdapat dua
kubu: para cendikiawan muslimin berpendidikan barat, dan para kiayi dan para
ulama tradisonal.
Selama
pendudukan jepang pihak jepang rupanya lebih memihak kepada kaum muslimin
daripada golongan nasionalis karen mereka berusaha menggunakan agama untuk
tujuan pernag mereka. Ada 3 perantara politik berikut ini yang merupakan hasil
bentukan pemerintah jepang yang menguntungkan kaum muslimin yaitu :
Shumubu,
yaitu kantor urusan agama yang menggantiakn kantor urusan pribumi jaman
belanda.
Masyumi,
yakni singkatan dari majlis syura muslim indonesia menggantikan MIAI yang
dibubarkan pada bulan oktober 1943
Hizbullah,
( partai allah dan angkatan allah), semacam organisasi militer untuk pemuda
pemuda muslim yang dipimpin oleh zainul arifin.
2.2. Corak Awal Islam Nusantara
Sampai Abad 17
Islam datang
ke Nusantara diperkirakan sekitar abad ke-7, kemudian mengalami perkembangan
dan mengislamisasi diperkirakan pada abad ke-13. Awal kedatangannya diduga
akibat hubungan dagang antara pedagang-pedagang Arab dari Timur Tengah atau
dari wilayah sekitar India, dengan kerjaan-kerajaan di Nusantara.
Perkembangannya pada abad ke-13 sampai awal abad ke-15 ditandai dengan
banyaknya pemukiman muslim baik di Sumatera maupun di Jawa seperti di
pesisir-pesisir pantai.
Pada awal penyebarannya Islam tampak
berkembang pesat di wilayah-wilayah yang tidak banyak dipengaruhi oleh budaya
Hindu-Budha, seperti Aceh, Minangkabau, Banten, Makassar, Maluku, serta
wilayah-wilayah lain yang para penguasa lokalnya memiliki akses langsung kepada
peradaban kosmopolitan berkat maraknya perdagangan antar bangsa ketika itu.
Menurut penulis pendapat ini kurang kuat karena bertolak belakang dengan
pendapat yang menyatakan bahwa Nusantara sebelum kedatangan Islam dipengaruhi
oleh budaya Hindu Budha. Selain itu, pendapat ini tidak memiliki bukti yang
cukup kuat.
Kemunculan dan perkembangan Islam di
kawasan Nusantara menimbulkan transformasi kebudayaan (peradaban) lokal.
Tranformasi melalui pergantian agama dimungkinkan karena Islam selain menekankan
keimanan yang benar, juga mementingkan tingkah laku dan pengamalan yang baik,
yang diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan.
Terjadinya transformasi kebudayaan (peradaban) dari sistem keagamaan lokal kepada sistem keagamaan Islam bisa disebut revolusi agama. Transformasi masyarakat kepada Islam terjadi berbarengan dengan “masa perdagangan,” masa ketika Asia Tenggara mengalami peningkatan posisi dalam perdagangan Timur-Barat. Kota-kota wilayah pesisir muncul dan berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan, kekayaan dan kekuasaan. Masa ini mengantarkan wilayah Nusantara ke dalam internasionalisasi perdagangan dan kosmopolitanisme kebudayaan yang tidak pernah dialami masyarakat di kawasan ini pada masa-masa sebelumnya. Konversi massal masyarakat Nusantara kepada Islam pada masa perdagangan terjadi karena beberapa sebab sebagai berikut:Portabilitas (siap pakai) sistem keimanan Islam. Sebelum Islam datang, sistem kepercayaan lokal berpusat kepada penyembahan arwah nenek moyang yang tidak siap pakai. Oleh karena itu, sistem kepercayaan kepada Tuhan yang berada di mana-mana dan siap memberikan perlindungan di manapun mereka berada, mereka temukan di dalam Islam.
Terjadinya transformasi kebudayaan (peradaban) dari sistem keagamaan lokal kepada sistem keagamaan Islam bisa disebut revolusi agama. Transformasi masyarakat kepada Islam terjadi berbarengan dengan “masa perdagangan,” masa ketika Asia Tenggara mengalami peningkatan posisi dalam perdagangan Timur-Barat. Kota-kota wilayah pesisir muncul dan berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan, kekayaan dan kekuasaan. Masa ini mengantarkan wilayah Nusantara ke dalam internasionalisasi perdagangan dan kosmopolitanisme kebudayaan yang tidak pernah dialami masyarakat di kawasan ini pada masa-masa sebelumnya. Konversi massal masyarakat Nusantara kepada Islam pada masa perdagangan terjadi karena beberapa sebab sebagai berikut:Portabilitas (siap pakai) sistem keimanan Islam. Sebelum Islam datang, sistem kepercayaan lokal berpusat kepada penyembahan arwah nenek moyang yang tidak siap pakai. Oleh karena itu, sistem kepercayaan kepada Tuhan yang berada di mana-mana dan siap memberikan perlindungan di manapun mereka berada, mereka temukan di dalam Islam.
2. Asosiasi Islam dengan kekayaan.
Ketika penduduk pribumi Nusantara bertemu dan berinteraksi dengan pedagang
Muslim yang kaya raya. Karena kekayaan dan kekuatan ekonominya, mereka bisa
memainkan peran penting dalam bidang politik entitas lokal dan bidang
diplomatik.
Kejayaan militer. Orang Muslim
dipandang perkasa dan tangguh dalam peperangan. Hal ini bisa dilihat dari
beberapa pertempuran yang dialami dan dimenangkan oleh kaum Muslim.
3 . Memperkenalkan tulisan. Agama
Islam memperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah Asia Tenggara (Nusantara) yang
sebagian belum mengenal tulisan, dan sebagian sudah mengenal tulisan sanskerta.
Tulisan yang diperkenalkan adalah tulisan Arab.
4. Mengajarkan penghapalan. Para
penyebar Islam menyandarkan otoritas sakral. Ajaran Islam yang mengandung
kebenaran dirancang dalam bentuk –bentuk yang mudah dipahami dan dihafalkan
oleh penganut baru. Karena itulah, hafalan menjadi sangat penting bagi para
penganut baru yang semakin banyak jumlahnya.
5 . Kepandaian dalam penyembuhan.
Karena penyakit selalu dikaitkan dengan sebab-sebab spiritual, maka agama
dipandang mempunyai jawaban terhadap berbagai penyakit dan ini menjadi jalan
untuk pengembang sebuah agama yang baru (Islam). Contohnya, Raja Patani menjadi
muslim setelah disembuhkan penyakitnya oleh seorang ulama dari Pasai.
6. Pengajaran tentang moral. Islam
menawarkan keselamatan dari berbagai kekuatan jahat. Ini terangkum dalam moral
dunia yang diprediksi bahwa orang-orang yang taat akan dilindungi Tuhan dari
segala kekuatan jahat dan akan diberi imbalan surga di akhirat.
Melalui sebab-sebab itu, Islam cepat mendapat pengikut yang banyak. Menurut Azra, semua daya tarik tersebut mendorong terjadinya “Revolusi keagamaan”.
Melalui sebab-sebab itu, Islam cepat mendapat pengikut yang banyak. Menurut Azra, semua daya tarik tersebut mendorong terjadinya “Revolusi keagamaan”.
Adapun corak awal Islam dipengaruhi
oleh tasawuf, antara lain terlihat dalam berbagai aspek berikut:
a). Aspek Politik
Dengan cara
perlahan dan bertahap, tanpa menolak dengan keras terhadap sosial kultural
masyarakat sekitar, Islam memperkenalkan toleransi dan persamaan derajat.
Ditambah lagi kalangan pedagang yang mempunyai orientasi kosmopolitan,
panggilan Islam ini kemudian menjadi dorongan untuk mengambil alih kekuasaan
politik dari tangan penguasa yang masih kafir. Menurut penulis, pengambil
alihan kekuasaan dari penguasa yang masih kafir ini merupakan konflik yang
terjadi antara rakyat dengan penguasa. Karena, rakyat yang sudah memeluk agama Islam,
menginginkan kehidupan yang adil di bawah pimpinan yang adil pula. Maka dalam
hal ini, keadilan tersebut akan sangat mungkin didapatkan apabila pemimpin
sudah memeluk Islam dan melaksanakan ajarannya.
Islam semakin tersosialisasi dalam masyarakat Nusantara dengan mulai terbentuknya pusat kekuasaan Islam. Kerajaan Samudera Pasai diyakini sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia. Bukti paling kuat yang menjelaskan tentang itu adalah ditemukannya makam Malik al-Shaleh yang terletak di kecamatan Samudera di Aceh Utara. Makam tersebut menyebutkan bahwa, Malik al-Shaleh wafat pada bulan Ramadhan 696 H/ 1297 M. Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu Malik, Malik al-Shaleh digambarkan sebagai penguasa pertama kerajaan Samudera Pasai. Pada tahap-tahap selanjutnya, banyak kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di wilayah Nusantara, seperti kerajaan Aceh, Demak, Pajang, Mataram, Ternate, Tidore, dan sebagainya.
Islam semakin tersosialisasi dalam masyarakat Nusantara dengan mulai terbentuknya pusat kekuasaan Islam. Kerajaan Samudera Pasai diyakini sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia. Bukti paling kuat yang menjelaskan tentang itu adalah ditemukannya makam Malik al-Shaleh yang terletak di kecamatan Samudera di Aceh Utara. Makam tersebut menyebutkan bahwa, Malik al-Shaleh wafat pada bulan Ramadhan 696 H/ 1297 M. Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu Malik, Malik al-Shaleh digambarkan sebagai penguasa pertama kerajaan Samudera Pasai. Pada tahap-tahap selanjutnya, banyak kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di wilayah Nusantara, seperti kerajaan Aceh, Demak, Pajang, Mataram, Ternate, Tidore, dan sebagainya.
Menurut penulis, banyaknya kerajaan
Islam yang berdiri di wilayah Nusantara tidak terlepas dari adanya peran para
ulama yang dekat dengan Raja. Dengan demikian, terjadi kontak antara Raja
dengan ulama, yang selanjutnya mengislamkan raja kemudian diikuti oleh
rakyatnya. Pada tahap berikutnya, raja yang muslimpun akan membantu penyebaran
dan pengembangan agama Islam ke wilayah-wilayah di Nusantara, dan diikuti
dengan banyaknya kerajaan Islam yang berdiri.
b). Aspek Hukum
Adanya
sebuah kerajaan, akan melahirkan undang-undang untuk mengatur jalannya
kehidupan di sebuah kerajaan. Karena dengan undang-undang inilah masyarakat
akan diatur.
Sebelum masuknya Nusantara, telah
ada sistem hukum yang bersumber dari hukum Hindu dan tradisi lokal (hukum
adat). Berbagai perkara dalam masyarakat diselesaikan dengan kedua hukum
tersebut.
Setelah agama Islam masuk, terjadi perubahan tata hukum. Hukum Islam berhasil menggantikan hukum Hindu di samping berusaha memasukkan pengaruh ke dalam masyarakat dengan mendesak hukum adat, meskipun dalam batas-batas tertentu hukum adat masih tetap bertahan. Pengaruh hukum Islam tampak jelas dalam beberapa segi kehidupan dan berhasil mengambil kedudukan yang tetap bagi penganutnya.
Setelah agama Islam masuk, terjadi perubahan tata hukum. Hukum Islam berhasil menggantikan hukum Hindu di samping berusaha memasukkan pengaruh ke dalam masyarakat dengan mendesak hukum adat, meskipun dalam batas-batas tertentu hukum adat masih tetap bertahan. Pengaruh hukum Islam tampak jelas dalam beberapa segi kehidupan dan berhasil mengambil kedudukan yang tetap bagi penganutnya.
Berbagai kitab undang-undang yang
ditulis pada masa-masa awal Islam di Nusantara yang menjadi panduan hukum bagi
negara dan masyarakat, memang bersumber dari kitab-kitab karya ulama Sunni di
berbagai pusat keilmuan dan kekuasaan Islam di Timur Tengah. Kitab
undang-undang Melayu menunjukkan ajaran-ajaran syari’ah sebagai bagian integral
dalam pembinaan tradisi politik di kawasan ini.
Sebagai contoh, yaitu kitab
Undang-Undang Melaka. Kitab undang-undang ini menunjukkan kuatnya pengaruh
unsur-unsur hukum Islam, khususnya yang berasal dari Mazhab Syafi’i.
Undang-Undang Melaka pada intinya meletakkan beberapa prinsip pertemuan antara
hukum Islam dan adat setempat. Pertama, gagasan tentang kekuasaan dan dan sifat
daulat ditentukan berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Kedua, pemeliharaan
ketertiban umum dan penyelesaian perkara hukum didasarkan pada
ketentuan-ketentuan Islam dan adat. Ketiga, hukum kekeluargaan pada umumnya
didasarkan pada ketentuan-ketentuan fiqh Islam. Keempat, hukum dagang
dirumuskan berdasarkan praktek perdagangan kaum Muslimin. Kelima, hukum yang
berkaitan dengan kepemilikan tanah umumnya berdasarkan adat.
Dengan demikian, dalam perkembangan
tradisi politik Melayu di Nusantara, pembinaan hukum dilakukan dengan mengambil
prinsip-prinsip hukum Islam, dan mempertahankan ketentuan-ketentuan adat yang
dipandang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
c). Aspek Bahasa
Kedalaman
pengaruh bahasa Arab dalam politik Islam di Asia Tenggara (nusantara) tidak
diragukan lagi banyak berkaitan dengan sifat penyebaran Islam di kawasan,
khususnya pada masa-masa awal. Hal ini berbeda dengan Islamisasi di wilayah
Persia dan Turki yang melibatkan penggunaan militer, Islamisasi di Nusantara
pada umumnya berlangsung damai.
Konsekuensi dari sifat proses penyebaran itu sudah jelas. Wilayah Muslim Asia Tenggara (Nusantara) menerima Islam secara berangsur-angsur. Dengan demikian, Muslim Melayu tidak mengadopsi budaya Arab secara keseluruhan , bahkan warna lokal cukup menonjol dalam perjalanan Islam di kawasan ini.
Konsekuensi dari sifat proses penyebaran itu sudah jelas. Wilayah Muslim Asia Tenggara (Nusantara) menerima Islam secara berangsur-angsur. Dengan demikian, Muslim Melayu tidak mengadopsi budaya Arab secara keseluruhan , bahkan warna lokal cukup menonjol dalam perjalanan Islam di kawasan ini.
Walaupun kurang terarabisasi, bahasa
Arab memainkan peran penting dalam kehidupan sosial keagamaan kaum Muslim.
Berbagai suku bangsa Melayu tidak hanya mengadopsi peristilahan Arab, tetapi
juga aksara Arab yang kemudian sedikit banyak disesuaikan dengan kebutuhan
lidah lokal.
Dari aspek tersebut, kemunculan
Islam dan penerimaan aksara Arab merupakan langkah signifikan bagi sebagian
penduduk di Nusantara untuk masuk ke dalam kebudayaan tulisan. Selanjutnya, hal
tersebut melahirkan tulisan yang dikenal dengan akasara Arab Melayu atau aksara
Arab Jawi.
Ketiga aspek tersebut yang
dipengaruhi oleh Islam, hal tersebut menjadi corak Islam yang terus berkembang hingga
abad ke 17. Hal ini menunjukkan kehidupan beragama Islam sangat terasa pada
masa tersebut.
2.3. Perkembangan Peradaban Islam di
Indonesia pada Masa Penjajahan Bangsa Barat
1. Masa Penjajahan Portugis
Perjalanan bangsa Portugis hingga benua Asia
tidak terlepas dari watak sebagian besar bangsa Eropa (beragama Kristen) yang
membenci umat Islam. Seperti yang telah kita ketahui bahwa pernah terjadi
peperangan besar yang terjadi antara umat Islam dan Kristen yang disebut
“Perang Salib” (1096-1270 M). Penguasaan besar-besaran oleh umat Islam di
daerah Timur Tengah dan beberapa wilayah Eropa pada saat itu memancing umat
Kristen di sekitarnya untuk segera mengambil alih kedudukan itu. Walaupun
perang Salib berhasil dimenangkan oleh umat Islam, namun beda halnya dengan
yang terjadi di belahan Dunia Islam sebelah barat. Orang-orang Islam (Arab)
yang telah berkuasa atas semenanjung Iberia (Spanyol-Portugal) semenjak abad 6
Masehi mengalami pasang naik dan pasang surut.
Karena sebab-sebab perpecahan ke dalam, pertentangan politik, penonjolan
rasa keakuan yang melampaui batas, berebut kekuasaan dan kekayaan, tidak dapat
membedakan yang mana boleh dikerjakan sendiri-sendiri di antara
golongan-golongan dan yang mana harus bersatu, dan karena mengabaikan
ajaran-ajaran Syara’ Islam, maka pada periode demi periode mengalami kemunduran
dan persengketaan. Akhirnya pada tahun-tahun memasuki abad ke-15 M
daerah-daerah yang mereka kuasai, propinsi demi propinsi direbut kembali oleh
orang-orang Spanyol-Portugis hingga akhirnya pecahlah Kerajaan Islam Spanyol
yang jaya menjadi berkeping-keping di Afrika Utara. Istilah “reconquistia” pun
mulai didengung-dengungkan sebagai lambang kemegahan orang Spanyol dan
Portugis. Istilah ini dikemukakan oleh Dr. W. B. Sijabat yang berarti “merebut
kembali dari suatu yang pernah diambil pihak lain”.
Bersamaan dengan itu, orang-orang Portugis mengambil kesempatan untuk
melakukan apa yang mereka namakan “reconquistia”. Mereka bukan saja merebut
miliknya yang pernah hilang, akan tetapi lebih dari itu. Mereka menjadi
bernafsu untuk merebut milik orang-orang Islam di mana saja mereka berada baik
di Barat maupun di Timur. Setiap orang yang beragama Islam bagi mereka adalah
orang Moro, orang yang harus diperangi.
Mulailah orang-orang portugis berlanglang buana atas nama “conquistador-conquistador” (jagoan penakluk) yang direstui Sri Paus. Tujuannya berganda, membalas dendam, merebut tanah jajahan, kekuasaan politik, mengangkut rempah-rempah dan harta kekayaan penduduk pribumi serta menyebarkan agama Katholik.
Mulailah orang-orang portugis berlanglang buana atas nama “conquistador-conquistador” (jagoan penakluk) yang direstui Sri Paus. Tujuannya berganda, membalas dendam, merebut tanah jajahan, kekuasaan politik, mengangkut rempah-rempah dan harta kekayaan penduduk pribumi serta menyebarkan agama Katholik.
Portugis menetapkan diri mereka sebagai penguasa samudra Hindia pada
awal abad ke-16. Pada tahun 1509 mereka mengalahkan sebuah pasukan gabungan
Mesir dan India serta merebut Goa. Setelah menguasai Goa, bandar perdagangan di
pantai barat India, Portugis mengarahkan lirikan mata imperialismenya ke Timur,
Malaka (Malaysia). Pada tahun 1511 mereka menaklukkan Malaka di bawah pimpinan
d’Albuquerque , tahun 1515 menaklukkan Hormuz di teluk Persia, dan pada tahun
1522 mereka menaklukkan Ternate sebagai sebuah upaya untuk menguasai
perdagangan antara Cina, Jepang, Siam, Molucca, Samudra India dan Eropa.
Portugis diusir dari Ternate pada tahun 1575, tetapi mereka tetap menguasai
sejumlah kepulauan lainnya di Molucca.
Tahun-tahun sekitar 1510 itu Kerajaan Islam Malaka memang sedang
mengalami kemerosotan akibat pertentangan dan perang saudara memperebutkan
kekuasaan dan kekayaan. Agaknya penyakit inilah yang sedang melanda umat Islam
di mana-mana sejak dari Spanyol hingga ke Asia Tenggara.
Di Malaka, selain banyak sekali berdatangan para pedagang bangsa Arab
(Islam) juga tidak sedikit datang dan pergi para pedagang Muslimin bangsa
Indonesia baik yang berasal dari Sumatra (Pase dan Perlak) maupun yang datang
dari Jawa (Demak). Hal itulah yang lebih menarik perhatian Portugis. Pertama,
orang-orang dari Jawa ini pemeluk agama Islam yang taat dan menjadi sahabat
Malaka. Kedua, karena pedagang dari Demak itu dagang dengan membawa
rempah-rempah yang amat mempesonakan Portugis. Ketiga, kapal-kapal dagang Demak
tidak dipersenjatai karena tujuan pelayarannya memang semata-mata untuk
berniaga.
Mulailah Portugis melakukan provokasi-provokasi untuk memutuskan
hubungan Malaka-Demak dan sekaligus merampas rempah-rempah yang sangat harum di
hidung orang Eropa itu. Lama kelamaan gelagat buruk ini diketahui oleh Adipati
Yunus yang ketika itu menjadi sultan Demak. Mengusik dan merampas rempah orang
Demak sama artinya dengan mematahkan ekonomi Negara Demak dan
menghalang-halangi dakwah Islam. Memang, di kapal-kapal dagang orang Demak
banyak pula berlayar para saudagar Islam bangsa Arab, akan tetapi buat Demak
banyak pula mereka adalah warga negaranya sendiri yang selain sedang melakukan
kegiatan berniaga sekaligus juga melakukan tugas dakwah yang dilindungi oleh
kedaulatan Demak. Sejak kerajaan Demak berdiri, maka kegiatan dakwah dan niaga
dilakukan secara serentak. Mubaligh-mubaligh dan saudagar-saudagar pribumi
Demak berdampingan bahu membahu dengan mubaligh-mubaligh dan saudagar-saudagar
Arab.
Mereka tidak saja dalam hubungan antara murid dan guru tetapi telah
menjadi satu saudara yang dipertalikan oleh satu agama yaitu Islam di bawah
daulat kerajaan Demak.
Perlawanan pun mulai digencarkan yaitu pada tahun 1513 dan 1521 yang
langsung dipimpin oleh Sultan Yunus. Namun sayangnya pertempuran ini masih bisa
dihalau oleh pasukan Portugis yang memiliki kemajuan teknik dan pengalaman di
laut sambil berperang, bahkan pertempuran ini menewaskan Sultan Yunus sebagai
syuhada’. Peperangan tak berhenti di sini, dengan kata lain perlawanan tetap
berlanjut walau sering kali mengalami kegagalan.
Ternyata pertahanan yang dilakukan Demak ini membawa dampak negatif
dalam sisi internal. Pemerintahan pusat di Demak lebih mencurahkan kegiatannya
pada masalah politik terutama politik luar negeri. Penggarapan terhadap
masalah-masalah sosial, pendidikan, kemakmuran dan sebagainya tidak seimbang.
Dan yang paling diabaikan adalah masalah kaderisasi atau pembinaan generasi
muda untuk calon-calon pengganti mereka di masa datang. Yang terasa pula ialah
bahwa jalannya dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar tidak terorganisir seperti
sedia kala. Padahal pelaksanaan politik yang lepas dari dakwah dan amar ma’ruf
nahi munkar dengan mudah akan menimbulkan penyelewengan-penyelewengan politik,
politik menjadi lepas dari norma-norma Taqwallah, maka akibatnya menjurus
kepada gejala “politik menghalalkan segala cara”. Kalau sudah demikian, pasti
goyahlah sendi-sendi kerajaan, jauhlah hubungan antara yang memerintah dan yang
diperintah, dan jurang itu akan semakin melebar jikalau tidak cepat
dijembatani. Oleh karena itulah, merenggangnya hubungan penguasa dengan para
ulama juga bisa dijadikan sebagai penyebab melemahnya kerajaan Demak. Pendek
kata, Islam sebagai pedoman hidup harus tetap dijaga, komunikasi yang baik
antara para ulama dan para penguasa sangat penting untuk diwujudkan.
Demak telah berakhir, namun Islam tidaklah berakhir.
Demak telah berakhir, namun Islam tidaklah berakhir.
Intervensi Portugis secara tidak langsung justru menyokong bagi
penyebaran Islam. Dengan hancurnya kekuasaan Malaka, para guru dan misionari
Muslim berpindah ke Sumatra Utara, Jawa, Molucca, dan ke Borneo. Setelah
hancurnya kekuasaan Malaka, tiga pusat utama kehidupan politik dan kultural
Muslim tumbuh berkembang. Di Aceh, sultan Syah Ali Mughayat menyatukan lawan-lawan
Portugis, dan berhasil mengalahkan mereka pada perang di Pidie 1521 dan pada
perang Pasai tahun 1524, menaklukkan wilayah pesisir utara kerajaan Aceh yang
menjadi pusat persaingan utama pihak Portugis. Antara tahun 1529-1587 Aceh
melancarkan usaha-usaha secara berkesinambungan untuk merebut kembali Malaka.
Antara tahun 1618 dan 1620, kerajaan Aceh merebut Pahang, Kedah, dan Perak.
Puncak kekuasaan Aceh tercapai pada masa pemerintahan Iskandar Muda
(1607-1636), yang mengorganisir sebuah rezim yang efektif dan memperkokoh
dominasinya atas para penguasa lokal (uleebalang) dan berbagai kelompok
perkampungan. Ambisi Sultan Iskandar untuk menguasai seluruh wilayah
semenanjung ini dipatahkan oleh kekuatan pemerintahan Malaya lainnya pada tahun
1629.
Beberapa kesultanan Muslim didirikan di semenanjung Malaya pada abad 15
dan abad 16. Di antaranya yang paling besar adalah kesultanan Johor
(1512-1812). Kesultanan Johor tidak merupakan sebuah dinasti, melainkan sebuah
wilayah kewenangan yang diperintah oleh beberapa penguasa yang berbeda. Johor
bertempur melawan Aceh dan Portugis untuk memperebutkan kekuasaan atas Malaka.
Jawa menjadi wilayah bagi pusat kekuasaan Muslim ketiga. Antara tahun
1513 dan 1528, sebuah koalisi kerajaan Muslim mengalahkan kekuasaan Majapahit,
dan tumbuhlah dua negara baru di wilayah pusat Jawa, yaitu kerajaan Banten di
Jawa Tengah dan Jawa Barat (didirikan pada tahun 1568), dan kerajaan Mataram di
wilayah timur Jawa Tengah.
Melanjutkan perjalanan Portugis, setelah berhasil mengacau perdagangan di Malaka, mereka mulai menemukan pedagang Melayu yang melarikan diri ke daerah lain seperti Demak dan Makasar. Mereka yang menyelamatkan diri ke Maluku, oleh Portugis diikuti jejaknya seolah dijadikan “guide”, penunjuk jalan untuk menemukan Maluku.
Melanjutkan perjalanan Portugis, setelah berhasil mengacau perdagangan di Malaka, mereka mulai menemukan pedagang Melayu yang melarikan diri ke daerah lain seperti Demak dan Makasar. Mereka yang menyelamatkan diri ke Maluku, oleh Portugis diikuti jejaknya seolah dijadikan “guide”, penunjuk jalan untuk menemukan Maluku.
Islamisasi di Maluku pada saat itu sudah berkembang, yaitu sejak
pertengahan abad ke limabelas. Hal itu ditandai dengan berdirinya
kerajaan-kerajaan Islam yang dipimpin oleh penguasa-penguasa yang taat
beribadah dan sangat memperhatikan dakwah Islam.
Keadaan seperti itulah yang tidak disukai Portugis. Mereka mulai menggunakan taktik adu domba untuk kembali melakukan misi utamanya, yaitu menjajah bumi Nusantara dan menghancurkan Islam. Karena usia Islam masih muda di Ternate, Portugis yang tiba di sana pada tahun 1522 M berharap dapat menggantikannya dengan agama Kristen. Harapan itu tidak terwujud. Usaha mereka hanya mendatangkan hasil yang sedikit.
Keadaan seperti itulah yang tidak disukai Portugis. Mereka mulai menggunakan taktik adu domba untuk kembali melakukan misi utamanya, yaitu menjajah bumi Nusantara dan menghancurkan Islam. Karena usia Islam masih muda di Ternate, Portugis yang tiba di sana pada tahun 1522 M berharap dapat menggantikannya dengan agama Kristen. Harapan itu tidak terwujud. Usaha mereka hanya mendatangkan hasil yang sedikit.
Hingga pada suatu saat, seorang utusan dari Roma yang terkenal,
Fransisco Xaverius, melakukan kristenisasi besar-besaran sekitar tahun 1546
padahal ratusan tahun yang lalu Islam sudah memasuki Maluku dan penduduk
gugusan pulau-pulau yang padat itu telah memeluk agama Islam. Menghadapi
tantangan seperti itu maka tidak sedikit terjadi perlawanan terhadap pasukan-pasukan
Portugis yang membawa agama Katholiknya. Dakwah Islam itu mencapai puncaknya
ketika motivasinya didorong oleh unsur politik membela kepentingan bangsa dan
tanah air berhubung dengan perbuatan Portugis yang melukai sentimen nasional
yang sangat kuat.
Akhirnya tindakan kristenisasi tersebut membangkitkan semangat juang di
kalangan kaum Muslimin Maluku. Sultan Ternate mengambil inisiatif utnuk
mengadakan tindakan timbal balik. Keras dihadapi dengan keras, sentimen dengan
sentimen, ekspansi atau perluasan daerah diimbangi dengan ekspansi pula. Itu
sebabnya, di mata Gereja Katholik, Sultan Ternate dipandang sebagai “orang
keras paling dibenci”. Hal itulah yang oleh pemimpin Gereja sendiri akhirnya
diakui sebagai suatu fanatisme yang meluap-luap. Ya, tetapi siapa mendahului
siapa?
Sekali pun penyebaran Kristen demikian pesat di kepulauan Maluku, namun
dakwah Islam terus berkembang baik di kepulauan Maluku Utara, Tengah maupun
Selatan. Umat Islam di sana mempunyai potensi yang hidup dan sanggup berdiri di
atas kaki sendiri.
Keadaan pada waktu sekarang tetaplah demikian dan semakin memperlihatkan perkembangan Islam yang mantap dan maju. Hal itulah yang membuat kesadaran di kalangan pemeluk agama Kristen tentang keadaan Islam yang sebenarnya di Maluku.
2. Masa Penjajahan Belanda
Keadaan pada waktu sekarang tetaplah demikian dan semakin memperlihatkan perkembangan Islam yang mantap dan maju. Hal itulah yang membuat kesadaran di kalangan pemeluk agama Kristen tentang keadaan Islam yang sebenarnya di Maluku.
2. Masa Penjajahan Belanda
Penindasan Belanda atas Islam justru
menjadikan Islam mampu meletakkan dasar-dasar identitas bangsa Indonesia.
Selain itu Islam juga dijadikan lambang perlawanan bagi imperialisme. Bagi para
penguasa pribumi, memeluk agama Islam berarti memiliki dua senjata. Pertama,
mendapat dukungan dari rakyat, karena rakyat banyak dari kalangan petani dan
pedagang yang telah menjadikan Islam sebagai agamanya. Kedua, selain para
penguasa dengan memeluk agama Islam mendapatkan dukungan rakyat, juga dapat
memiliki senjata dalam melawan agresi agama dan perdagangan dari imperialis
barat.
Kehadiran ulama dalam masyarakat telah diterima sebagai pelopor
pembaharu dan pengaruh ulama pun semakin mendalam setelah berhasil membina
pesantren. Ternyata pesantren itu tidak hanya merupakan lembaga pendidikan,
tetapi juga merupakan lembaga penyemaian kader-kader pemimpin rakyat, sekaligus
berfungsi sebagai wahana merekrut prajurit sukarela yang memiliki keberanian
moral yang tinggi.
Sepintas lalu ulama hanya terlihat sekedar sebagai pembina pesantren. Akan tetapi, peranannya dalam sejarah cukup militan. Diakui oleh Thomas Stanford Raffles bahwa ulama merupakan part nearship para penguasa dalam melawan usaha perluasan kekuasaan asing di Indonesia. Dengan demikian, ulama memegang peranan multifungsi, termasuk bidang politik dan militer.
Sepintas lalu ulama hanya terlihat sekedar sebagai pembina pesantren. Akan tetapi, peranannya dalam sejarah cukup militan. Diakui oleh Thomas Stanford Raffles bahwa ulama merupakan part nearship para penguasa dalam melawan usaha perluasan kekuasaan asing di Indonesia. Dengan demikian, ulama memegang peranan multifungsi, termasuk bidang politik dan militer.
Kelanjutan dari pengaruh ulama yang demikian luas tersebut tidak hanya
terbatas dibidang politik dan militer saja, melainkan meluas juga terhadap
ekonomi yang telah meninggalkan bekas-bekasnya atas the ecology of economic
activities. Maka jelaslah Belanda di Indonesia mendapatkan rintangan dari ulama
terutama dibidang perdagangan. Belanda melihat kegiatan umat Islam yang
mempunyai dwifungsi sebagai pedlar missionaries (da’i dan pedagang). Akibatnya,
usaha perdagangan Belanda menghadapi ancaman dari umat Islam
Pemberontakan Santri Abad ke-19
Kondisi yang demikian itu mengubah kondisi pesantren yang tadinya
sebagai lembaga pendidikan, berubah menjadi a center of anti ducth sentiment
(sebagai pusat pembangkit anti Belanda). Dalam abad ini saja Belanda menghadapi
empat kali pemberontakan santri yang besar. Pertama, perang Cirebon
(1802-1806). Kedua, perang Diponogoro sebagai peperangan terbesar yang dihadapi
pemerintah kolonial Belanda di Jawa (1825-1830). Ketiga, perang Padri di
Sumatra Barat (1821-1838). Keempat, di Aceh sebagai pemberontakan santri yang
terpanjang atau terlama (1873-1908).
Perlawanan-perlawanan yang dilakukan untuk membebaskan diri dari
pengaruh Belanda tidak pernah putus. Akan tetapi, usaha-usaha itu selalu gagal
karena beberapa sebab, di antaranya: (1) Belanda diperlengkapi dengan
organisasi dan persenjataan modern sementara kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia masih bersifat tradisional, (2) penduduk Indonesia sangat tergantung
kepada wibawa seorang pemimpin, sehingga ketika pemimpinnya tertangkap atau
terbunuh praktis perang atau perlawanan terhenti dengan kemenangan di pihak
Belanda, (3) tidak ada kesatuan antara kerajaan-kerajaan Islam dalam melawan
Belanda, karena (4) Belanda berhasil menerapkan politik adu domba, dan (5)
dengan politik adu domba itu, banyak penduduk pribumi yang ikut memerangi
rekan-rekannya sendiri.
Pada mulanya Belanda menempuh cara menghancurkan ulama dan Islam dengan
melancarkan politik agama non Islam. Akan tetapi, sekali pun gerakan ini
dibiayai oleh pemerintah, namun ternyata hanya mampu menarik suku-suku asing
dari agamanya.
Dutch Islamic Policy
Dutch Islamic Policy
Melihat perkembangan ulama yang demikian ini, Snouck mencoba memberikan
diagnosis yang dijadikan Dutch Islamic Policy. Dia melihat ulama dan santri itu
sendiri tidak berbahaya, sekalipun mereka berada di desa-desa dekat dengan para
petani. Oleh karena itu diciptakan diagnosis “Menciptakan ulama dan santri di
desa-desa menjadi tuna politik (depolitisasi).” Pemerintah tidak perlu takut
kepada ulama dan santri, asal mereka dijauhkan dari propaganda politik, baik
dari kegiatan politik dalam negeri maupun luar negeri.
Untuk merealisasikan diagnosis tersebut, dianjurkan supaya pemerintahan menjalankan dwikebijaksanaan (twin policies), yakni menganjurkan adanya toleransi agama, dan menindak dengan kekerasan terhadap ulama yang masih melanjarkan kegiatan politik dan militer.
Mematahkan Ulama Melalui Tanam Paksa
Untuk merealisasikan diagnosis tersebut, dianjurkan supaya pemerintahan menjalankan dwikebijaksanaan (twin policies), yakni menganjurkan adanya toleransi agama, dan menindak dengan kekerasan terhadap ulama yang masih melanjarkan kegiatan politik dan militer.
Mematahkan Ulama Melalui Tanam Paksa
Untuk dapat mencapai target diagnosis tersebut, Belanda memerlukan
kawan. Snouck menasehatkan supaya pemerintah menggunakan tenaga Pangreh Praja.
Keadaan Jawa memungkinkan untuk tujuan tersebut. Belanda telah berhasil
melumpuhkan basis suplai ulama dan santri. Pengreh Praja yang merasa
mendapatkan keuntungan dari tanam paksa, dengan menyalahgunakan kekuasaan telah
ikut memperluas dan meratakan kemiskinan rakyat.
Ulama dan santri yang bermata pencaharian sebagai petani akan mudah
dipatahkan dengan penguasaan atas tanah. Tanam paksa benar-benar telah melumpuhkan
rakyat. Pemerintah takut terhadap ulama dan santri Jawa Barat yang memberontak
selama mereka mampu menguasai tanah sawahnya. Karena itu pelaksanaan tanam
paksa harus diperkeras dan diperlama. Akibatnya, kemelaratan benar-benar
menindih kehidupan petani muslim di Jawa Barat.
Rusaknya Mental Penguasa Pribumi
Petani sebagai basis suplai yang telah rusak kehidupannya, tidak
mendapatkan pembelaan dari Pangreh Praja saat itu. Raja-raja tidak mampu
berbuat untuk menolong rakyat. Mereka telah kehilangan syari’at Islam sebagai
landasan hukum dasarnya. Selanjutnya, Ronggo Warsito memberikan gambaran
tentang sikap penguasa pribumi setelah lepas hubungannya dengan ulama. Tingkah
laku mereka mengejar kemewahan, menambah merajalelanya penderitaan rakyat.
Kondisi yang demikian digambarkan oleh Harry J. Benda: Bangsawan Indonesia telah kehilangan tambatan budaya dan politik mereka sebagai akibat penaklukan Belanda.
Depolitisasi Ulama Desa
Kondisi yang demikian digambarkan oleh Harry J. Benda: Bangsawan Indonesia telah kehilangan tambatan budaya dan politik mereka sebagai akibat penaklukan Belanda.
Depolitisasi Ulama Desa
Kedudukan ulama benar-benar menyedihkan. Ulama desa yang tuna politik
tidak tahu tentang struktur pemerintahan di atasnya. Para ulama desa dan
pengikut-pengikutnya diputuskan hubungannya langsung dengan kalangan priyayi
atau bangsawan di atasnya. Mereka tidak memiliki pengetahuan apapun tentang
struktur kenegaraan.
Berita Nahdlatul Ulama dalam hal ini memberikan gambaran betapa parahnya orientasi ulama saat itu, antara lain: “Para ulama kita satu dengan yang lainnya tak kenal mengenal atau kurang rapat hubungannya hanya selaku kenalan saja. Tiada sampai pada bersama-sama kerja untuk agama dan umat umum. Bahkan kadang-kadang ada kalanya yang diantara mereka sembur-semburan antara satu dengan yang lainnya, dikarenakan berselisih dalam masalah atau sebab lain. Sebagian dari mereka tidak mengetahui keadaan kehinaan umat Islam yang diluar pagar rumahnya.”
Membangkitkan Gerakan Nasional
Berita Nahdlatul Ulama dalam hal ini memberikan gambaran betapa parahnya orientasi ulama saat itu, antara lain: “Para ulama kita satu dengan yang lainnya tak kenal mengenal atau kurang rapat hubungannya hanya selaku kenalan saja. Tiada sampai pada bersama-sama kerja untuk agama dan umat umum. Bahkan kadang-kadang ada kalanya yang diantara mereka sembur-semburan antara satu dengan yang lainnya, dikarenakan berselisih dalam masalah atau sebab lain. Sebagian dari mereka tidak mengetahui keadaan kehinaan umat Islam yang diluar pagar rumahnya.”
Membangkitkan Gerakan Nasional
Waktu yang tepat untuk mengadakan perubahan akhirnya datang pula
struktur penjajahan yang ingin menciptakan Pax Neer Landica telah menemukan
efek samping yang menguntungkan umat Islam Indonesia. Penindasan yang diderita
telah melahirkan persamaan nasib. Islam bagi bangsa Indonesia identik dengan
tanah air.
Para ulama mencoba menggerakkan masyarakat dengan melalui waktu-waktu yang sangat menguntungkan dalam pendidikan. Dicobanya mendidik masyarakat supaya motifasinya bangkit kembali dibidang ekonomi perdagangan. Untuk keperluan ini H. Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (16 oktober 1905). Setahun kemudian dirubahnya menjadi Sarekat Islam.
Para ulama mencoba menggerakkan masyarakat dengan melalui waktu-waktu yang sangat menguntungkan dalam pendidikan. Dicobanya mendidik masyarakat supaya motifasinya bangkit kembali dibidang ekonomi perdagangan. Untuk keperluan ini H. Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (16 oktober 1905). Setahun kemudian dirubahnya menjadi Sarekat Islam.
Tetapi Belanda melihatnya dari segi lain bahwa dengan adanya organisasi
atau perserikatan diartikan sebagai usaha membina persatuan, sebagai cara baru
dalam kebangkitan Islam. Apalagi aktivis SDI selanjutnya membentuk kerjasama
dagang antara Islam dan Cina Kong Sing. Sedangkan policy Belanda sejak abad
ke-18, berusaha mencegah asimilasi antara Cina dan Islam. Kesatuan Cina dengan
umat Islam akan mudah dijalinnya, karena latar belakang sejarahnya memudahkan
kesatuan tersebut. Sebagai misal sebagai hubungan umat Islam Cirebon dengan
Cina pada abad ke-15, yang dikisahkan dalam Carita Purwaka Caruban Nagari,
bahwa panglima Wai Ping dan laksamana Te Bo beserta pengikutnya mendirikan
mercusuar di bukut Gunung Jati. Kesatuan Cina dalam susuhunan Mataram yang disertai
dengan masuknya Cina kedalam agama Islam, mengilhami Belanda untuk melahirkan
kebijaksanaan yang berusaha memisahkan asimilasi antara Islam dengan Cina.
Kebijaksanaan Belanda yang mencegah terjadinya asimilasi pada abad ke-20 adalah
mudah dimengerti. Persoalannya terletak pada latar belakang sejarah mereka.
Negara cina juga sedang bertujuan menetang imperialisme barat, sedangkan
Indonesia memiliki sejarah yang sama. Oleh karena itu, bila terjadi asimilasi,
berarti mempercepat proses gulung tikarnya Belanda di Indonesia.
Telah jelas bahwa pihak Islam telah menampung asimilasi tersebut dan di
Negara Cina telah berkobar revolusi Cina, karenanya dengan berbagai provokasi
Belanda menimbulkan bentrokan fisik antara Cina dengan umat Islam. Pancingan
ini berhasil melahirkan pemberontakan anti-Cina di Solo. Akibat pemberontakan
ini sangat menguntungkan Belanda yang pada awal mulanya ketakutan terhadap
menularnya revolusi Cina ke Indonesia. Bila revolusi ini benar-benar menjalar,
sukar ditumpasnya, karena telah adanya persatuan antara Islam dengan Cina.
Dengan adanya pemberontakan tersebut, selesailah usaha mencegah asimilasi, dan
Belanda merasa aman baik terhadap ancaman gerakan nasional dari bantuan Cina,
maupun dari bahaya menjalarnya revolusi Cina ke Indonesia. Dengan demikian,
Belanda telah berhasil memisahkan Cina-Indonesia yang dipelopori Islam,
sekaligus timbullah hubungan Cina-Belanda menentang perkembangan tuntutan
nasionalisme pribumi.
Mencegah Kesatuan Islam-Priyayi
Mencegah Kesatuan Islam-Priyayi
Pemberontakan anti-Cina dalam sejarah dituliskan sebagai perlawanan SDI
plus lascar Mangkunegara (1911), yang menyebabkan Belanda mengeluarkan skorsing
terhadap kegatan SDI. Tetapi, skorsing hanya berjalan selama 14 hari (12-26
Agustus 1912).
SDI, setelah menerima skorsing mencoba pula mengadakan konsolidasi. Ternyata pilihan SDI tepat sekali, waktu itu SDI merintis jalan untuk menyerahkan pimpinan SI kepada H. O. S. Cokroaminoto. Seperti yang kita ketahui, pilihan ini mempunyai motivasi yang sesuai dengan tuntutan zamannya. Pada masa itu, tokoh priyayi masih mempunyai nilai tersendiri di mata rakyat. H. O. S. Cokroaminoto selain seorang muslim yang demokrat juga mempunyai darah ningrat, dan lebih dari itu beliau adalah seorang pemimpin yang brilian.
Hanya dalam waktu empat bulan SI telah sanggup mengadakan konggres I di Surabaya (26 Januari 1973) konggres ini mendapatkan dukungan masa rakyat yang luar biasa. Belanda ketakutan terhadap usaha SI yang berusaha menyadarkan rakyat akan politik. Pemerintah mulai melarang pembentukan sentral SI. Larangan ini tidak mempan, CSI dibentuk di Surabaya (1915). Umat Islam yang tadinya diharapkan oleh pemerintah colonial menjadi tuna politik (depolitisasi), justru sekarang bangkit berjuang menyadarkan rakyat untuk menuntut pemerintahan sendiri.
SDI, setelah menerima skorsing mencoba pula mengadakan konsolidasi. Ternyata pilihan SDI tepat sekali, waktu itu SDI merintis jalan untuk menyerahkan pimpinan SI kepada H. O. S. Cokroaminoto. Seperti yang kita ketahui, pilihan ini mempunyai motivasi yang sesuai dengan tuntutan zamannya. Pada masa itu, tokoh priyayi masih mempunyai nilai tersendiri di mata rakyat. H. O. S. Cokroaminoto selain seorang muslim yang demokrat juga mempunyai darah ningrat, dan lebih dari itu beliau adalah seorang pemimpin yang brilian.
Hanya dalam waktu empat bulan SI telah sanggup mengadakan konggres I di Surabaya (26 Januari 1973) konggres ini mendapatkan dukungan masa rakyat yang luar biasa. Belanda ketakutan terhadap usaha SI yang berusaha menyadarkan rakyat akan politik. Pemerintah mulai melarang pembentukan sentral SI. Larangan ini tidak mempan, CSI dibentuk di Surabaya (1915). Umat Islam yang tadinya diharapkan oleh pemerintah colonial menjadi tuna politik (depolitisasi), justru sekarang bangkit berjuang menyadarkan rakyat untuk menuntut pemerintahan sendiri.
Menghadapi kebangkitan umat Islam dengan gerakan nasionalnya, Belanda
mencari jalan lain. Pemerintah mencoba memecahkan hubungan antara umat Islam
dengan kalangan priyayi. Lebih-lebih perlu dijauhkan kalangan Pangreh Praja
dari gerakan politik yang dilancarkan SI. Dengan “Perintah halus”-nya, Belanda
berhasil menciptakan iklim pertentangan antara SI dan priyayi.
Pertentangan semacam ini semestinya menurut perhitungan pemerintah akan
menghentikan aktivitas SI. Ternyata pertentangan priyayi-ulama di lain pihak
menumbuhkan gerakan baru, yakni perserikatan ulama di Majalengka (1917) yang
dipimpin oleh K. H. Abdul Halim. Gerakan ini kerjasama dengan SI, sekalipun
mengkhususkan dalam bidang sosial pendidikan. Kemudian disusul dengan
berdirinya Persis (1920).
Memperalat Komunisme
Memperalat Komunisme
Pemerintah Belanda dengan berbagai usaha ingin mematahkan gerakan
nasional yang digerakkan oleh umat Islam. Meskipun perpecahan ulama-priyayi
oleh pemerintah Belanda, ternyata tidak menghalangi gerakan membangkitkan
gerakan politik nasional.
Sneevlite sebagai tokoh komunis pertama di Indonesia berhasil menciptakan pertentangan dalam kalangan SI. Semaun dan Darsono terpengaruh oleh marxisme, dan mencoba membelokkan Islam sebagai ideologi, serta melancarkan berbagai fitnah terhadap H. O. S. Cokroaminoto, H. Agus Salim, dan Abdul Muis. Akibatnya, gerakan SI berubah, yang tadinya berpusat kepada usaha menanamkan kesadaran politik dan ekonomi nasional terhadap rakyat, setelah adanya serangan Semaun dan Darsono, gerakan terfokus dalam usaha untuk mengamankan SI.
Sneevlite sebagai tokoh komunis pertama di Indonesia berhasil menciptakan pertentangan dalam kalangan SI. Semaun dan Darsono terpengaruh oleh marxisme, dan mencoba membelokkan Islam sebagai ideologi, serta melancarkan berbagai fitnah terhadap H. O. S. Cokroaminoto, H. Agus Salim, dan Abdul Muis. Akibatnya, gerakan SI berubah, yang tadinya berpusat kepada usaha menanamkan kesadaran politik dan ekonomi nasional terhadap rakyat, setelah adanya serangan Semaun dan Darsono, gerakan terfokus dalam usaha untuk mengamankan SI.
Kerjasama antara imperialisme Belanda dengan komunis akan mudah
dimengerti bila kita melihat latar belakang sejarahnya. Gerakan komunis di
Eropa, semenjak kegagalan Marx memimpin revolusi buruh dalam pemberontakan
komunis di Paris, tidak lagi menentang imperialisme barat tetapi justru
cenderung mendukungnya.
Komunis Belanda mendukung karena takut kehilangan Indonesia sekaligus takut kehilangan predikat sebagai penjajah nomor 3 atau 4 di dunia. Tanpa Indonesia, Belanda hanya merupakan Negara dingin yang kecil di laut utara.
Komunis Belanda mendukung karena takut kehilangan Indonesia sekaligus takut kehilangan predikat sebagai penjajah nomor 3 atau 4 di dunia. Tanpa Indonesia, Belanda hanya merupakan Negara dingin yang kecil di laut utara.
Oleh karena itu, seluruh usaha SI ditolaknya dan berusaha menghancurkan
keyakinan rakyat terhadap kepemimpinan H. O. S. Cokroamonoto, H. Agus Salim,
Abdul Muis dan Surya Pranoto. Tetapi, kenyataannya sejarah membuktikan,
bagaimanapun usaha orang-orang komunis, umat Islam tetap menuntut kemerdekaan.
Masa Penjajahan Jepang
Masa Penjajahan Jepang
Kemunduran progresif yang dialami partai-partai Islam seakan mendapat
dayanya kembali setelah Jepang datang menggantikan posisi Belanda. Jepang
berusaha mengakomodasi dua kekuatan, Islam dan nasionalis “sekuler” ketimbang
pimpinan tradisional (maksudnya raja dan bangsawan lama).
Dalam menghadapi umat Islam, Jepang sebenarnya mempunyai kebijaksanaan
politik yang sama dengan Belanda. Hanya dalam awal pendekatannya, Jepang
memperlihatkan sikap bersahabat, karena Jepang berpendirian bahwa umat Islam
merupakan powerful forces dalam menghadapi sekutu. Latar belakang sejarah umat
Islam yang anti imperialisme Barat, memiliki kesamaan tujuan dengan perang Asia
Timur Raya. Sikap umat Islam yang yang demikian itu akan dimanfaatkan oleh
pemerintahan kolonial Jepang.
Tetapi tentara Jepang tidak menghendaki adanya parpol Islam. Mereka
lebih menyukai hubungan langsung dengan ulama daripada dengan pemimpin parpol.
Oleh karena itu, Jepang mengeluarkan maklumat pembubaran parpol. Dalam
menghadapi tentara Jepang, umat Islam bertindak untuk sementara menyetujui
pembubaran tersebut dengan mengeluarkan maklumat juga.
Tindakan Jepang ini jelas menunjukkan rasa takutnya terhadap Islam
sebagai partai politik. Tapi di suatu pihak, Jepang menyadari potensi umat
Islam dalam menunjang tujuan perang. Sekalipun Jepang tidak menyetujui dan
tidak menyukai berhubungan dengan pemimpin parpol Islam, namun Jepang
memerlukan para ulama untuk membentuk wadah organisasi baru untuk membina ulama
dan umat Islam.
Untuk tujuan di atas dibentuklah Kantor Urusan Agama (KUA) dengan
ketuanya kolonel Horie yang telah dipersiapkan konsepnya sebelum Jepang
mendarat di Indonesia. Karena begiitu Belanda menyerah tanpa syarat pada 8
maret 1942, pada akhir maret 1942 pembentukan KUA tersebut telah siap. Selain
itu dibentuk pula Tiga A (Nippon Pemimpin, Pelindung, dan Cahaya Asia). Dengan
adanya Tiga A ini, berdasarkan konsep Shimizui, dibentuklah Persiapan Persatuan
Umat Islam (PPUI).
Pada tanggal 4 September 1942 melalui Tiga A diadakan musyawarah pertama di Hotel des Indes. Hasil dari musyawarah ini, umat Islam menghidupkan kembali MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang berdiri tahun 1938 dan memilih W. Wondoamiseno sebagai ketua. Sekalipun Jepang sangat memerlukan bantuan umat Islam tetapi timbul rasa takut terhadap persatuan dan kebangkitan umat Islam.
Pada tanggal 4 September 1942 melalui Tiga A diadakan musyawarah pertama di Hotel des Indes. Hasil dari musyawarah ini, umat Islam menghidupkan kembali MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang berdiri tahun 1938 dan memilih W. Wondoamiseno sebagai ketua. Sekalipun Jepang sangat memerlukan bantuan umat Islam tetapi timbul rasa takut terhadap persatuan dan kebangkitan umat Islam.
Mayor Jendral Okazaki lebih menekankan perhatian pemerintahannya kepada
ulama daripada MIAI. Dengan cara ini diharapkan dapat mematikan MIAI yang
berkedudukan di Jakarta. Usaha di atas ini jelas gagal. Betapa mungkin KUA
dapat diperalat untuk menghancurkan MIAI.
Orang Jepang harus menyadari bahwa Islam bukanlah hanya sekadar agama,
tetapi merupakan keseluruhan way of life yang telah menyebar ke segenap lapisan
masyarakat. Umat Islam Indonesia telah lama berjuang menentang imperialisme
Barat. Hal ini sesuai dengan dasar mengapa umat Islam dapat bekerja sama dengan
Jepang. Untuk memelihara kerja sama ini hendaknya kita saling menghormati agama
kita masing-masing. Perbedaan agama tidaklah menjadi penghalang perbedaan
tersebut.
Sebenarnya Jepang sendiri adalah imperialis. Tetapi bagi umat Islam saat
itu tidak ada pilihan lain kecuali menampakkan sikap yang demikian itu.
Sebaliknya Jepang juga tidak ubahnya dengan Belanda berusaha untuk
menghancurkan Islam. Tetapi kondisi peperangan yang menuntut bantuan stabilitas
dalam negeri, memaksa Jepang untuk mendekati umat Islam. Harry J. Benda
menyatakan melalui propaganda Jawa Baru, umat Islam membangkitkan
Pan-Islamisme.
Mengawasi Pesantren
Mengawasi Pesantren
Tentara Jepang banyak mewarisi hasil karya belanda, kebijaksanaan
politik Islamnya Belanda, dicoba direvisi sedikit. Perang dunia II menuntut
Jepang untuk menggerakkan massa Islam berpihak kepadanya. Untuk itu
diletakkanlah Nippon's Islamic Grass Roots Policy (kebijaksanaan politik Jepang
terhadap kalangan rakyat jelata Islam). Sasarannya adalah pesantren, desa, dan
ulama, dan menjadikan ulama menjadi pemimpin sipil terdepan yang berpartisipasi
menciptakan ketentraman dan kewaspadaan. Penguasa kepada ulama berarti bahwa
Jepang menguasai desa dan pesantren.
Untuk melaksanakan policy di atas, Jepang menggunakan media pendidikan
sebagai alat propagandanya. Para ulama perlu ditingkatkan partisipasinya dengan
diadakan semacam kursus kilat, tujuannya untuk meningkatkan kesadaran ulama
terhadap situasi dunia dan semangat ulama supaya dapat sepenuhnya membantu
Jepang.
Inilah sebagai pelaksanaan Islamic Gross-roots policy-nya jepang. Di satu pihak Jepang menolak mentah-mentah eksistensi parpol Islam, tetapi di lain pihak Jepang lebih menyukai mempolitikkan ulama. Dengan cara ini Jepang berharap dapat menyalurkan potensi laten pesantren kepada kepentingan perangnya.
Pembela Tanah Air (PETA)
Inilah sebagai pelaksanaan Islamic Gross-roots policy-nya jepang. Di satu pihak Jepang menolak mentah-mentah eksistensi parpol Islam, tetapi di lain pihak Jepang lebih menyukai mempolitikkan ulama. Dengan cara ini Jepang berharap dapat menyalurkan potensi laten pesantren kepada kepentingan perangnya.
Pembela Tanah Air (PETA)
PETA dibentuk pada tanggal 10 September 1943 oleh Gatot Mangkupraja
kawan Bung Karno. "Tetapi harus diingat bahwa Jepang bagaimanapun juga
adalah imperialis". Dasar inilah yang membuat pembentukan PETA lebih
bersifat politik daripada ketentaraan. Pembentukan PETA bukan hanya karena
permohonan Gatot Mangkupraja, ataupun usulan milisi dari R. Sutarjo, karena
Jepang sendiri telah memiliki konsep tentang pembentukan tentara pribumi.
Untuk merealisasikan tentara pribumi ini diserahkan pada Beppen (Seksi
khusus, dinas intelijen). Segera Beppan membentuk Jawa Bo-ei Giyugun Kanbu
Renseitai (Korps latihan perwira pasukan sukarela pembela tanah air Jawa) di
Bogor. Disinilah ulama dilatih sebagai calon daidanco (komandan batalion).
Untuk mendapatkan dukungan lebih banyak dari umat Islam, maka dikatakan
bahwa tugas peta sebagai tugas suci. Daidanki (Bendera peta) dengan lambang
bulan bintang ini dijelaskan oleh Kan Po sebagai lambang yang dihormati oleh
rakyat di Jawa.
Tujuan penguasa militer Jepang sebenarnya tidak akan menciptakan kesatuan, tetapi hanya menginginkan kerja sama lebih mudah dengan umat Islam Indonesia.adapun usaha Jepang bertujuan; 1. Menanamkan semangat Nippon, 2. Menumbuhkan loyalitas ulama terhadap Jepang, 3. Meyakinkan kebencian ulama terhadap sekutu, 4. Perang asia Timur Raya adalah perang suci, 5. Menambahkan keyakinan bahwa Jepang dan Indonesia adalah satu nenek moyang dan satu ras.
Tujuan penguasa militer Jepang sebenarnya tidak akan menciptakan kesatuan, tetapi hanya menginginkan kerja sama lebih mudah dengan umat Islam Indonesia.adapun usaha Jepang bertujuan; 1. Menanamkan semangat Nippon, 2. Menumbuhkan loyalitas ulama terhadap Jepang, 3. Meyakinkan kebencian ulama terhadap sekutu, 4. Perang asia Timur Raya adalah perang suci, 5. Menambahkan keyakinan bahwa Jepang dan Indonesia adalah satu nenek moyang dan satu ras.
Tujuan di atas menumbuhkan sikap takut Jepang akan timbulnya kesatuan
umat Islam. Peta selain diharapkan bantuannya, juga disiapkan untuk memecah
belah struktur organisasinya. Namun ulama masih sanggup memanfaatkan Peta untuk
membangkitkan semangat keprajuritan. Usaha ulama inilah yang menjadikan peta
sebagai wadah pembibitan pemimpin TNI nanti di kemudian hari.
Bait A-Mal dan Jawa Hokokai
Bait A-Mal dan Jawa Hokokai
MIAI dalam memanfaatkan perubahan selama penduduk Jepang, digunakan pula
untuk menghimpun dana. Dari dana ini diharapkan dapat membiayai pembinaan umat.
Untuk itu MIAI diluar KUA mengadakan gerakan pengumpulan zakat Bait Al-Mal
(BAM). Usaha ini terlihat nyata di Bandung yang dipelopori oleh bupati Wiranta
Kusuma dan meluas di seluruh Jawa terbentuk 35 cabang (BAM).
Tampaknya Jepang tidak sejalan dengan tindakan MIAI membentuk BAM tanpa
Backing dari KUA. Untuk mengimbangi atau mematikan BAM, Jepang melancarkan kegiatan
Jawa Hokokai (kebangkitan rakyat), dan Tonari Gumi (rukun tetangga) usaha ini
benar-benar berhasil tertunjang oleh kondisi peperangan sehingga BAM tidak bisa
melanjutkan usahanya.
Masyumi
Masyumi
Pengaruh MIAI cukup membahayakan. MIAI masih sanggup menunjukkan
kemampuannya menggerakkan massanya, berbeda dengan partai sekuler lainnya yang
sudah tidak mampu menampakkan potensi massanya lagi. Oleh karenanya Jepang
mencoba menghilangkan pengaruh MIAI dengan membentuk Majelis Syura Muslimin
Indonesia, sekaligus dengan pembentukan organisasi baru ini bertujuan untuk
menurunkan pimpinan MIAI dengan mengangkat Hasyim Asyari sebagai ketua Masyumi.
Jepang mengharapkan timbulnya perpecahan di kalangan umat Islam. Tetapi
kenyataannya perkembangan Masyumi sangat cepat kontras sekali dengan Putera dan
Hokokai.
Sejak awal Jepang telah mencoba untuk menetralisir Masyumi dari kegiatan
politik. Karena itu pimpinan Masyumi disumpah untuk membebaskan dirinya dari
kegiatan politik apapun. Dengan demikian Masyumi dapat menjadi wadah yang
menjauhkan umat Islam dari politik. Usaha ini juga mempunyai latar belakang
lain, yaitu agar Jepang mudah mematahkan basis suplai pesantren.
Pemberontakan Santri Peta
Pemberontakan Santri Peta
Selain menghadapi sekutu, Jepang juga mempersiapkan diri agar dapat
mematahkan potensi Islam di Jawa Barat, yang ternyata berakar di desa-desa.
Melalui Romusha (prajurit kerja) dan menyerahkan padi, Jepang memperkirakan
akan dapat melumpuhkan potensi umat Islam. Ternyata tindakan Jepang dijawab
oleh umat Islam dengan adanya pemberontakan santri di Singaparna yang dipimpin
oleh Kiai Zainal Musthafa (NU), yang bercita-citakan menegakkan kebahagiaan
rakyat di dalam negara Islam yang bebas dari kekuasaan asing. Pemberontakan ini
secara fisik berhasil dipadamkan, tetapi tiga bulan kemudian pecah lagi
pemberontakan santri yang lebih meluas yang meliputi kecamatan Lohbener dan
kecamatan Simpang. Tentara dan polisi Jepang membasmi pemberontakan tersebut.
Pemimpin-pemimpin berhasil di tembak mati.
Cita-cita pemberontakan tersebut menginginkan tegaknya kebahagiaan dan
negara Islam. Jepang pun segera memberikan janji kemerdekaan yang sejalan
dengan cita-cita tersebut. Perdana Menteri dalam sidang Teikoku Gikai ke-85 di
Tokyo tanggal 7 september 1944 mengumumkan janji kemerdekaan. Berita ini disampaikan
secara resmi kepada rakyat Indonesia dengan menyebutkan gambaran pembentukan
"negara Indonesia yang berdasarkan Islam".
Kaum politis Islam setelah pemberontakan terjadi, mereka sibuk dengan
menyambut perkenan kemerdekaan. Tetapi Jepang lupa mengulur waktu pelaksanaan
janji. Bagi yang menantikan sekalipun baru satu tahun, dirasakan terlalu lama.
Apalagi dilakukan tindakan pemerasan yang dilakukan diluar peri kemanusiaan.
Tepat satu tahun setelah pembentukan santri sukamah, di Blitar timbul
pemberontakan Peta yang dipimpin oleh Supriyadi (14 februari 1945). Adapun
motivasi yang mendorong pemberontakan tersebut yaitu: 1. Tidak tahan melihat
penderitaan rakyat, 2. Tidak tahan melihat kesombongan dan kesewenangan Jepang,
3. Janji kemerdekaan itu omong kosong.
Sebenarnya baik pemberontakan santri dan Peta dilancarkan pada saat
Jepang sedang menghadapi kehancuran. Bila hal tersebut telah diketahui oleh
rakyat banyak, kemudian didukung oleh politis termasuk bung Karno dan bung
Hatta, riwayat Jepang tamat lebih awal dari penyerahan di Amerika.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari beberapa
uraian di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa kedatangan Islam ke Nusantara
telah memberikan pencerahan dan membawa dampak yang positif bagi masyarakat
pribumi Nusantara. Hal ini telah memunculkan sebuah peradaban baru bagi dunia
Islam. Peradaban baru tersebut tidak terlepas dari corak dan karakteristik yang
dimiliki oleh budaya masyarakat di Nusantara.
1. Islam pada masa penjajahan Portugis menghadapi banyak sekali
tantangan. Sikap Portugis yang sangat tidak menyukai Islam terbukti dengan
berbagai usahanya dalam mengganggu aktifitas dakwah terutama dalam lewat
perdagangan. Dengan semangat juang pemimpin atau raja-raja Islam dalam
menghadapi ancaman Portugis itu, maka sebagian besar rintangan bisa dihalau.
Namun sayangnya Islam dalam lingkungan Demak sempat mengalami gangguan internal
sehingga memperlemah kekuatannya. Walau demikian perkembangan Islam tidak
berhenti. Seperti halnya Islam di Maluku yang berhasil bertahan menancapkan
perjuangan dakwahnya di tengah-tengah kristenisasi pada masa penjajahan
Portugis.
2. Pada masa penjajahan Belanda terjadi pemberontakan pejuang-pejuang
Islam yang berkobar untuk membela tanah air. Untuk menghadapi umat Islam,
Belanda menggunakan cara depolitisasi, yaitu menjadikan para ulama tuna
politik. Selain itu, banyak taktik Belanda yang lainnya seperti adu domba
antara Islam-Priyayi, tanam paksa dan lain-lain. Namun tentu saja umat Islam tidak
selamanya berdiam diri dalam urusan politik, sehingga mulailah bermunculan
organisasi-organisasi bernuansa Islam di sekitar awal abad ke dua puluh. Inilah
permulaan kembalinya Islam di kancah politik secara nasional.
3. Perkembangan Islam pada masa Jepang ini sangat berarti, karena
kebijaksanaan yang diberlakukan bangsa Jepang sedikit berbeda dengan Belanda,
walau intinya tetap sama yaitu dalam mengeruk kekayaan Indonesia alias
imperialisme. Dengan demikian Islam dapat lebih berperan dalam kehidupan kenegaraan
walaupun tak sedikit pula tekanan dari pihak Jepang. Perkembangan Islam ini
dapat dilihat dari keterlibatan umat Islam di dalam organisasi politik dan
militer baik bentukan anak negeri maupun bentukan Jepang.
3.2 Saran
Dengan
adanya makalah ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam memahami corak
islam pada abad 17. Sehingga mahsiswa dapat lebih mengahargai islam yang
sebenar benarnya. Melihat perjuangan yang ada disaat dahulu untuk kejayaan
islam saat ini. Dan dapat mengenbangkan atau memberikan corak islam yang lebih
baik disaat ini dan seterusnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://khozin.staff.umm.ac.id/download-as-pdf/umm_blog_article_106.pdf.
http://www.docstoc.com/docs/27625108/SEJARAH-ISLAM-DI-INDONESIA,
http://maulanusantara.wordpress.com/2010/04/09/tasawuf-falsafi-di-nusantara-abad-ke
http://www.docstoc.com/docs/27625108/SEJARAH-ISLAM-DI-INDONESIA,
http://maulanusantara.wordpress.com/2010/04/09/tasawuf-falsafi-di-nusantara-abad-ke
xviim/.
http://idb1.wikispaces.com/file/view/mn1002.pdf.
http://idb1.wikispaces.com/file/view/mn1002.pdf.
No comments:
Post a Comment