Monday, October 10, 2016

Corak dan perkembangan islam diindonesia



MAKALAH 
Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok Mata Kuliah Kemuhammadiyahan I yang diampu oleh Drs.Rasyid Siddiq, M.Pd.I






Disusun Oleh : Kelompok IV


Amirul mukminin                    14320043






PROGRAM  PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADYAH METRO
2015/2016













KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT,atas berkah, rahmat, dan hidayah yang telah dilimpahkan-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul “Corak Islam dinusantara dan Kedatangan dan Penjajahan Bangsa Barat dinusantara”
Terimakasih kami ucapkan kepada Drs. Rasyid Siddiq, M.Pd.I yang telah memberikan tugas ini sebagai bahan untuk mengikuti mata kuliah Al-islam 1. Rasa sayang kepada kedua orang tua yang tiada henti memberikan  motivasi untuk kami sehingga memiliki semangt lebih dalam belajardan berusaha
Tidak ada gading yang tak retak, begitupula dengan penyusunan makalah ini,kami menyadari masih begitu banyak kekurangan didalamnya dan sangat jauh dari kesempurnaan. Hal tersebut dikarenakan masih terbatasnya kemampuan dan pengetahuan kami. Oleh karena itu kami masih sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan kami diwaktu mendatang.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat begi kami pada khususnya, dan bagi masyarakat pada umumnya.
Wassalamualaikum Wr.Wb

Metro, 1 OKTOBER 2016                                                                                                                



Penulis

                                                                                                                       
















DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
Latar belakang............................................................................................... 1
Rumusan Masalah.........................................................................................  1
Tujuan Makalah............................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN
            2.1 Corak dan perkembangan islam diindonesia..........................      2
            2.1 Corak Awal Islam Nusantara Sampai Awal Abad Ke-17........... 4
            2.2 Kedatangan dan Penjajahan Bangsa Barat di nusantara............. 8
           
BAB III PENUTUP
            3.1 kesimpulan..................................................................................  9
            3.2 Saran............................................................................................ 19

DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Sejak awal masehi kawasan Nusantara telah berfungsi sebagai jalur lintas perdagangan bagi kawasan Asia Barat, Asia Timur dan Asia Selatan. Kedatangan Islam di Nusantara penuh dengan perdebatan, terdapat tiga masalah pokok yang menjadi perdebatan para sejarawan. Pertama, tempat asal kedatangan Islam. Kedua, para pembawanya. Ketiga, waktu kedatanganya.
Namun, Islam telah masuk, tumbuh dan berkembang di wilayah Nusantara dengan cukup pesat. Mengingat kedatangan Islam ke Nusantara yang pada saat itu sudah memiliki budaya Hindu-Budha. Maka hal ini sangat menggembirakan karena Islam mampu berkembang di tengah kehidupan masyarakat yang telah memiliki akar budaya yang cukup kuat dan lama.
Kedatangan Islam ke wilayah Nusantara mengalami berbagai cara dan dinamika, antara lain dengan perdagangan, pernikahan, sosial budaya, dan sebagainya. Hal ini menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan Islam di wilayah ini memiliki corak tersendiri.
Dalam makalah ini, penulis membahas tentang corak awal Islam Nusantara sampai awal abad ke-17.

1.2. Rumusan Masalah
1.Bagaimanakah corak awal islam sampai awal abad ke 17
2. Bagaimana kedatangan dan penjajahan bangsa barat dinusantara

1.3. Tujuan makalah
1.Mengetahui corak awal islam sampai awal abad ke 17
2.Mengetahui kedatangan dan penjajahan bangsa barat dinusantara


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Corak dan Perkembangan Islam diIndonesia

Masa Kesulthanan
Untuk melihat lebih jelas gambaran keislaman di kesulthanan atau kerajaan-kerajaan islam akan diuraikan sebagai berikut
Di daerah daerah yang sedikit sekali disentuh olehkebudayaan hindu budhaseperti daerah-daerah aceh dan minangkabaudi sumatra dan banten dijawa, agama islam secara mendalam mempengaruhi kehidupan agama, sosial dan politik penganut-penganutnya sehingga di daerah-daerah tersebut agama islam itu telah menunjukan diri dalam bentuk yang lebih murni.
Di kerajaan banjar, dengan masuk islamnya raja, perkembnagan islam selanjutnya tidak begitu sulit karena raja menunjangnya dengan fasilitas dan kemudahan kemudahandan hasilnya membawa kepada kehidupan masyarakat banjar yang benar-benarbersendikan islam. Secara konkrit kehidupan dikerajaan banjar inidiwujudkan dengan adanya mufti dan aqdi atas jasa Muhammad Arsyad Al-banjari yang ahli dalam bidang fiqih dan tasawuf. Di kerajaan ini telah berhasil mengkodifikasi hukum-hukum yang sepenuhnya beroreantasi pada hukum islam yang dinamakan undang undang sultan adam. Dalam undang undang ini muncul kesan bahwa kedudukan mufti sama dengan mahkamah agung sekarang yang bertugas mengontrol dan kalo ada perlu berfungsi sebagai lembaga untuk naik bandingdari mahkamah biasa. Tercatat dalam sejarah banjar diberlakukannya hukum bunuh bagi orang yang murtad  dan hukum potong tanga bagi pencuri dan mendera bagi yang kedapatan  berzina.
Guna memadu penyebaran agama islamdipulau jawa maka dilakukan upaya agar isalam dan tadisi jawa dimainkan satu denagn yang lainya , serta dibangun masjid sebagai pusat pendidikan islam
Dengan kelonggaran-kelonggaran tersebut, tergeraklah petinggi dan penguasa kerajaan untuk memeluk islam. Bila penguasa memeluk islam serta memasukkan islam kedaerah kerajaanya , rakyat pun akan memeluk islam.dan akan melaksanakan ajaranya. Begitu pila kerajaan-kerajaan yang berada dibawah kekuasaanya. Ini seperti ketika dipimpin oleh sultan Agung. Ketika sultan Agung masuk islam, kerajaan-kerjaan yang ada dibawah mataram ikut pula masuk islam seperti kerajaan cirebon, priangan dan lain sebaginya. Lalu Sultan Agung menyesuaikan seluruh tata laksana kerajaan dengan istilah keislaman meskipun kadang kadang tidak sesuai dengan srtti sebenarnya.

Masa Penjajahan
Di tengah- tengah proses transformasi sosial yang relatif damai itu datanglah pedagang pedangan barat yaitu portugis kemudian spanyol disusul belanda dan inggris , Tujuannya adalah untuk menaklikan kerajaan-kerajaan islam di iondonesiadi sepanjang pesisir dikepulauan nusatara
Pada mulanya mereka datang keindonesia untuk menjalin persaudaraan dagang karena indonesia kaya akan rempah-rempah, namun kemudian mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut dan menjadi tuan bagi bangsa indonesia.
Apalagi setelah kedatangan Snouck Hurgeronye yang ditugasi sebagai penasehat urusanpribumi dan arab, pemerintah hindia belanda lebih berani membuat kebijaksanaan mengenai masalah islam diindonesia karena snock memileiki pengalaman dalam penelitian lapangan di Negri arab, jawa, dan aceh kemudian ia mengemukakan gagasanya yang dikenal dengan politik islam diindonesia. Dengan politik itu ia membagi masalah islam dalam dalam 3 kategori :
Bidang agama murni atau ibadah
Bidang sosial dan kemasyarakatan
Politik
Terhadap bidang agama murni , pemerintah kolonial memberiakan kemerdekaan kepada umat islam untuk melaksanakan ajaran agamanya sepanjang tidak menggangu pemerintahan belanda.
Dalam bidang kemasyarakanta , pemerintah memanfaatkan adat kebiasaaan yang belaku sehingga pada saat dicetuskan teori untuk membatasi keberlakuan hukum islam, yakni teori reseptie yang maksudnya hukum islam yang baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan denga adat kebiasaan . oleh karena itu terjadi kemerdekaan hukum islam.
Sedangkan dalam bidang politik pemerintah memlarang keras orang islam membahas hukum islam baik dari alquran maupun sunnah yang menerangakn tentang politik kenegaraan atau ketatanegaraan.
Gerakan dan Organisasi Islam
Akibat dari “recep politik islam”nya snouck Hurgronye itu, menjelang permulaan abad XX umat islam indonesia yang jumlahnya semakin bertambah menghadapi tiga tayangan dari pemerintah hindia belanda, yaitu : politik devide etimpera, politik penindasan dengan kekerasan dan politik menjinakan melalui asosiasi
Namun, ajaraan islam pada hakiktnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakan begitu saja. Dengan pengalaman tersebut, ornag islam bangkit denagn menggunakan taktik baru, bukan dengan pelawanan fisik tetapi dengan membnagun organsasi. Oleh karena itu, masa terakhir kekuasaan belanda diIndonesia ditandai dengan tumbuhnya kesadaran berpolitik bagi bangsa indonesia, sebagai hasil perubaha-perubahan sosial dan ekonomi, danpak dari pendidikan barat, serta gagasan-gagasan, aliran pembaruan islam dimesir.
Akibat dari situasi ini, tumbuhlah perkumpulan-perkumpulan politik baru dan muculah pemikir-pemikir politik yang sdar diri. Karena persatuan dalam syariak-syarikat islam , yakni hanya orang indonesia yang beragama islamlah yang dapat diterima dalam organisasi tersebut, para pejabat dan pemerintahan (pangreh praja) ditolak dari keanggotaan itu.
Selanjutnya persaingan antara partai-partai politik itu mengakibatkan putusnya hubungan antara pemimpin islam, yaitu santri dan para pengikut tradisi jawa dan abangan. Dikalangan santri sendiri, dengan lahirnya gerakan pembaruan islam dari mesir yang mengompromikan rasionalisme barat dengan fudamentalisme islam, tlah menimbulkan perpecahan sehingga sejak itu dikalangan kaum muslimin terdapat dua kubu: para cendikiawan muslimin berpendidikan barat, dan para kiayi dan para ulama tradisonal.
Selama pendudukan jepang pihak jepang rupanya lebih memihak kepada kaum muslimin daripada golongan nasionalis karen mereka berusaha menggunakan agama untuk tujuan pernag mereka. Ada 3 perantara politik berikut ini yang merupakan hasil bentukan pemerintah jepang yang menguntungkan kaum muslimin yaitu :
Shumubu, yaitu kantor urusan agama yang menggantiakn kantor urusan pribumi jaman belanda.
Masyumi, yakni singkatan dari majlis syura muslim indonesia menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan oktober 1943
Hizbullah, ( partai allah dan angkatan allah), semacam organisasi militer untuk pemuda pemuda muslim yang dipimpin oleh zainul arifin.
   
2.2. Corak Awal Islam Nusantara Sampai Abad 17
Islam datang ke Nusantara diperkirakan sekitar abad ke-7, kemudian mengalami perkembangan dan mengislamisasi diperkirakan pada abad ke-13. Awal kedatangannya diduga akibat hubungan dagang antara pedagang-pedagang Arab dari Timur Tengah atau dari wilayah sekitar India, dengan kerjaan-kerajaan di Nusantara. Perkembangannya pada abad ke-13 sampai awal abad ke-15 ditandai dengan banyaknya pemukiman muslim baik di Sumatera maupun di Jawa seperti di pesisir-pesisir pantai.
Pada awal penyebarannya Islam tampak berkembang pesat di wilayah-wilayah yang tidak banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu-Budha, seperti Aceh, Minangkabau, Banten, Makassar, Maluku, serta wilayah-wilayah lain yang para penguasa lokalnya memiliki akses langsung kepada peradaban kosmopolitan berkat maraknya perdagangan antar bangsa ketika itu. Menurut penulis pendapat ini kurang kuat karena bertolak belakang dengan pendapat yang menyatakan bahwa Nusantara sebelum kedatangan Islam dipengaruhi oleh budaya Hindu Budha. Selain itu, pendapat ini tidak memiliki bukti yang cukup kuat.
Kemunculan dan perkembangan Islam di kawasan Nusantara menimbulkan transformasi kebudayaan (peradaban) lokal. Tranformasi melalui pergantian agama dimungkinkan karena Islam selain menekankan keimanan yang benar, juga mementingkan tingkah laku dan pengamalan yang baik, yang diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan.
Terjadinya transformasi kebudayaan (peradaban) dari sistem keagamaan lokal kepada sistem keagamaan Islam bisa disebut revolusi agama. Transformasi masyarakat kepada Islam terjadi berbarengan dengan “masa perdagangan,” masa ketika Asia Tenggara mengalami peningkatan posisi dalam perdagangan Timur-Barat. Kota-kota wilayah pesisir muncul dan berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan, kekayaan dan kekuasaan. Masa ini mengantarkan wilayah Nusantara ke dalam internasionalisasi perdagangan dan kosmopolitanisme kebudayaan yang tidak pernah dialami masyarakat di kawasan ini pada masa-masa sebelumnya. Konversi massal masyarakat Nusantara kepada Islam pada masa perdagangan terjadi karena beberapa sebab sebagai berikut:Portabilitas (siap pakai) sistem keimanan Islam. Sebelum Islam datang, sistem kepercayaan lokal berpusat kepada penyembahan arwah nenek moyang yang tidak siap pakai. Oleh karena itu, sistem kepercayaan kepada Tuhan yang berada di mana-mana dan siap memberikan perlindungan di manapun mereka berada, mereka temukan di dalam Islam.
2. Asosiasi Islam dengan kekayaan. Ketika penduduk pribumi Nusantara bertemu dan berinteraksi dengan pedagang Muslim yang kaya raya. Karena kekayaan dan kekuatan ekonominya, mereka bisa memainkan peran penting dalam bidang politik entitas lokal dan bidang diplomatik.
Kejayaan militer. Orang Muslim dipandang perkasa dan tangguh dalam peperangan. Hal ini bisa dilihat dari beberapa pertempuran yang dialami dan dimenangkan oleh kaum Muslim.
3 . Memperkenalkan tulisan. Agama Islam memperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah Asia Tenggara (Nusantara) yang sebagian belum mengenal tulisan, dan sebagian sudah mengenal tulisan sanskerta. Tulisan yang diperkenalkan adalah tulisan Arab.
4. Mengajarkan penghapalan. Para penyebar Islam menyandarkan otoritas sakral. Ajaran Islam yang mengandung kebenaran dirancang dalam bentuk –bentuk yang mudah dipahami dan dihafalkan oleh penganut baru. Karena itulah, hafalan menjadi sangat penting bagi para penganut baru yang semakin banyak jumlahnya.
5 . Kepandaian dalam penyembuhan. Karena penyakit selalu dikaitkan dengan sebab-sebab spiritual, maka agama dipandang mempunyai jawaban terhadap berbagai penyakit dan ini menjadi jalan untuk pengembang sebuah agama yang baru (Islam). Contohnya, Raja Patani menjadi muslim setelah disembuhkan penyakitnya oleh seorang ulama dari Pasai.
6. Pengajaran tentang moral. Islam menawarkan keselamatan dari berbagai kekuatan jahat. Ini terangkum dalam moral dunia yang diprediksi bahwa orang-orang yang taat akan dilindungi Tuhan dari segala kekuatan jahat dan akan diberi imbalan surga di akhirat.
Melalui sebab-sebab itu, Islam cepat mendapat pengikut yang banyak. Menurut Azra, semua daya tarik tersebut mendorong terjadinya “Revolusi keagamaan”.

Adapun corak awal Islam dipengaruhi oleh tasawuf, antara lain terlihat dalam berbagai aspek berikut:
a). Aspek Politik
Dengan cara perlahan dan bertahap, tanpa menolak dengan keras terhadap sosial kultural masyarakat sekitar, Islam memperkenalkan toleransi dan persamaan derajat. Ditambah lagi kalangan pedagang yang mempunyai orientasi kosmopolitan, panggilan Islam ini kemudian menjadi dorongan untuk mengambil alih kekuasaan politik dari tangan penguasa yang masih kafir. Menurut penulis, pengambil alihan kekuasaan dari penguasa yang masih kafir ini merupakan konflik yang terjadi antara rakyat dengan penguasa. Karena, rakyat yang sudah memeluk agama Islam, menginginkan kehidupan yang adil di bawah pimpinan yang adil pula. Maka dalam hal ini, keadilan tersebut akan sangat mungkin didapatkan apabila pemimpin sudah memeluk Islam dan melaksanakan ajarannya.
Islam semakin tersosialisasi dalam masyarakat Nusantara dengan mulai terbentuknya pusat kekuasaan Islam. Kerajaan Samudera Pasai diyakini sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia. Bukti paling kuat yang menjelaskan tentang itu adalah ditemukannya makam Malik al-Shaleh yang terletak di kecamatan Samudera di Aceh Utara. Makam tersebut menyebutkan bahwa, Malik al-Shaleh wafat pada bulan Ramadhan 696 H/ 1297 M. Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu Malik, Malik al-Shaleh digambarkan sebagai penguasa pertama kerajaan Samudera Pasai. Pada tahap-tahap selanjutnya, banyak kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di wilayah Nusantara, seperti kerajaan Aceh, Demak, Pajang, Mataram, Ternate, Tidore, dan sebagainya.
Menurut penulis, banyaknya kerajaan Islam yang berdiri di wilayah Nusantara tidak terlepas dari adanya peran para ulama yang dekat dengan Raja. Dengan demikian, terjadi kontak antara Raja dengan ulama, yang selanjutnya mengislamkan raja kemudian diikuti oleh rakyatnya. Pada tahap berikutnya, raja yang muslimpun akan membantu penyebaran dan pengembangan agama Islam ke wilayah-wilayah di Nusantara, dan diikuti dengan banyaknya kerajaan Islam yang berdiri.

b). Aspek Hukum
Adanya sebuah kerajaan, akan melahirkan undang-undang untuk mengatur jalannya kehidupan di sebuah kerajaan. Karena dengan undang-undang inilah masyarakat akan diatur.
Sebelum masuknya Nusantara, telah ada sistem hukum yang bersumber dari hukum Hindu dan tradisi lokal (hukum adat). Berbagai perkara dalam masyarakat diselesaikan dengan kedua hukum tersebut.
Setelah agama Islam masuk, terjadi perubahan tata hukum. Hukum Islam berhasil menggantikan hukum Hindu di samping berusaha memasukkan pengaruh ke dalam masyarakat dengan mendesak hukum adat, meskipun dalam batas-batas tertentu hukum adat masih tetap bertahan. Pengaruh hukum Islam tampak jelas dalam beberapa segi kehidupan dan berhasil mengambil kedudukan yang tetap bagi penganutnya.
Berbagai kitab undang-undang yang ditulis pada masa-masa awal Islam di Nusantara yang menjadi panduan hukum bagi negara dan masyarakat, memang bersumber dari kitab-kitab karya ulama Sunni di berbagai pusat keilmuan dan kekuasaan Islam di Timur Tengah. Kitab undang-undang Melayu menunjukkan ajaran-ajaran syari’ah sebagai bagian integral dalam pembinaan tradisi politik di kawasan ini.
Sebagai contoh, yaitu kitab Undang-Undang Melaka. Kitab undang-undang ini menunjukkan kuatnya pengaruh unsur-unsur hukum Islam, khususnya yang berasal dari Mazhab Syafi’i. Undang-Undang Melaka pada intinya meletakkan beberapa prinsip pertemuan antara hukum Islam dan adat setempat. Pertama, gagasan tentang kekuasaan dan dan sifat daulat ditentukan berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Kedua, pemeliharaan ketertiban umum dan penyelesaian perkara hukum didasarkan pada ketentuan-ketentuan Islam dan adat. Ketiga, hukum kekeluargaan pada umumnya didasarkan pada ketentuan-ketentuan fiqh Islam. Keempat, hukum dagang dirumuskan berdasarkan praktek perdagangan kaum Muslimin. Kelima, hukum yang berkaitan dengan kepemilikan tanah umumnya berdasarkan adat.
Dengan demikian, dalam perkembangan tradisi politik Melayu di Nusantara, pembinaan hukum dilakukan dengan mengambil prinsip-prinsip hukum Islam, dan mempertahankan ketentuan-ketentuan adat yang dipandang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

c). Aspek Bahasa
Kedalaman pengaruh bahasa Arab dalam politik Islam di Asia Tenggara (nusantara) tidak diragukan lagi banyak berkaitan dengan sifat penyebaran Islam di kawasan, khususnya pada masa-masa awal. Hal ini berbeda dengan Islamisasi di wilayah Persia dan Turki yang melibatkan penggunaan militer, Islamisasi di Nusantara pada umumnya berlangsung damai.
Konsekuensi dari sifat proses penyebaran itu sudah jelas. Wilayah Muslim Asia Tenggara (Nusantara) menerima Islam secara berangsur-angsur. Dengan demikian, Muslim Melayu tidak mengadopsi budaya Arab secara keseluruhan , bahkan warna lokal cukup menonjol dalam perjalanan Islam di kawasan ini.
Walaupun kurang terarabisasi, bahasa Arab memainkan peran penting dalam kehidupan sosial keagamaan kaum Muslim. Berbagai suku bangsa Melayu tidak hanya mengadopsi peristilahan Arab, tetapi juga aksara Arab yang kemudian sedikit banyak disesuaikan dengan kebutuhan lidah lokal.
Dari aspek tersebut, kemunculan Islam dan penerimaan aksara Arab merupakan langkah signifikan bagi sebagian penduduk di Nusantara untuk masuk ke dalam kebudayaan tulisan. Selanjutnya, hal tersebut melahirkan tulisan yang dikenal dengan akasara Arab Melayu atau aksara Arab Jawi.

Ketiga aspek tersebut yang dipengaruhi oleh Islam, hal tersebut menjadi corak Islam yang terus berkembang hingga abad ke 17. Hal ini menunjukkan kehidupan beragama Islam sangat terasa pada masa tersebut.

2.3. Perkembangan Peradaban Islam di Indonesia pada Masa Penjajahan Bangsa Barat

1. Masa Penjajahan Portugis
Perjalanan bangsa Portugis hingga benua Asia tidak terlepas dari watak sebagian besar bangsa Eropa (beragama Kristen) yang membenci umat Islam. Seperti yang telah kita ketahui bahwa pernah terjadi peperangan besar yang terjadi antara umat Islam dan Kristen yang disebut “Perang Salib” (1096-1270 M). Penguasaan besar-besaran oleh umat Islam di daerah Timur Tengah dan beberapa wilayah Eropa pada saat itu memancing umat Kristen di sekitarnya untuk segera mengambil alih kedudukan itu. Walaupun perang Salib berhasil dimenangkan oleh umat Islam, namun beda halnya dengan yang terjadi di belahan Dunia Islam sebelah barat. Orang-orang Islam (Arab) yang telah berkuasa atas semenanjung Iberia (Spanyol-Portugal) semenjak abad 6 Masehi mengalami pasang naik dan pasang surut.
Karena sebab-sebab perpecahan ke dalam, pertentangan politik, penonjolan rasa keakuan yang melampaui batas, berebut kekuasaan dan kekayaan, tidak dapat membedakan yang mana boleh dikerjakan sendiri-sendiri di antara golongan-golongan dan yang mana harus bersatu, dan karena mengabaikan ajaran-ajaran Syara’ Islam, maka pada periode demi periode mengalami kemunduran dan persengketaan. Akhirnya pada tahun-tahun memasuki abad ke-15 M daerah-daerah yang mereka kuasai, propinsi demi propinsi direbut kembali oleh orang-orang Spanyol-Portugis hingga akhirnya pecahlah Kerajaan Islam Spanyol yang jaya menjadi berkeping-keping di Afrika Utara. Istilah “reconquistia” pun mulai didengung-dengungkan sebagai lambang kemegahan orang Spanyol dan Portugis. Istilah ini dikemukakan oleh Dr. W. B. Sijabat yang berarti “merebut kembali dari suatu yang pernah diambil pihak lain”.
Bersamaan dengan itu, orang-orang Portugis mengambil kesempatan untuk melakukan apa yang mereka namakan “reconquistia”. Mereka bukan saja merebut miliknya yang pernah hilang, akan tetapi lebih dari itu. Mereka menjadi bernafsu untuk merebut milik orang-orang Islam di mana saja mereka berada baik di Barat maupun di Timur. Setiap orang yang beragama Islam bagi mereka adalah orang Moro, orang yang harus diperangi.
Mulailah orang-orang portugis berlanglang buana atas nama “conquistador-conquistador” (jagoan penakluk) yang direstui Sri Paus. Tujuannya berganda, membalas dendam, merebut tanah jajahan, kekuasaan politik, mengangkut rempah-rempah dan harta kekayaan penduduk pribumi serta menyebarkan agama Katholik.
Portugis menetapkan diri mereka sebagai penguasa samudra Hindia pada awal abad ke-16. Pada tahun 1509 mereka mengalahkan sebuah pasukan gabungan Mesir dan India serta merebut Goa. Setelah menguasai Goa, bandar perdagangan di pantai barat India, Portugis mengarahkan lirikan mata imperialismenya ke Timur, Malaka (Malaysia). Pada tahun 1511 mereka menaklukkan Malaka di bawah pimpinan d’Albuquerque , tahun 1515 menaklukkan Hormuz di teluk Persia, dan pada tahun 1522 mereka menaklukkan Ternate sebagai sebuah upaya untuk menguasai perdagangan antara Cina, Jepang, Siam, Molucca, Samudra India dan Eropa. Portugis diusir dari Ternate pada tahun 1575, tetapi mereka tetap menguasai sejumlah kepulauan lainnya di Molucca.
Tahun-tahun sekitar 1510 itu Kerajaan Islam Malaka memang sedang mengalami kemerosotan akibat pertentangan dan perang saudara memperebutkan kekuasaan dan kekayaan. Agaknya penyakit inilah yang sedang melanda umat Islam di mana-mana sejak dari Spanyol hingga ke Asia Tenggara. 
Di Malaka, selain banyak sekali berdatangan para pedagang bangsa Arab (Islam) juga tidak sedikit datang dan pergi para pedagang Muslimin bangsa Indonesia baik yang berasal dari Sumatra (Pase dan Perlak) maupun yang datang dari Jawa (Demak). Hal itulah yang lebih menarik perhatian Portugis. Pertama, orang-orang dari Jawa ini pemeluk agama Islam yang taat dan menjadi sahabat Malaka. Kedua, karena pedagang dari Demak itu dagang dengan membawa rempah-rempah yang amat mempesonakan Portugis. Ketiga, kapal-kapal dagang Demak tidak dipersenjatai karena tujuan pelayarannya memang semata-mata untuk berniaga. 
Mulailah Portugis melakukan provokasi-provokasi untuk memutuskan hubungan Malaka-Demak dan sekaligus merampas rempah-rempah yang sangat harum di hidung orang Eropa itu. Lama kelamaan gelagat buruk ini diketahui oleh Adipati Yunus yang ketika itu menjadi sultan Demak. Mengusik dan merampas rempah orang Demak sama artinya dengan mematahkan ekonomi Negara Demak dan menghalang-halangi dakwah Islam. Memang, di kapal-kapal dagang orang Demak banyak pula berlayar para saudagar Islam bangsa Arab, akan tetapi buat Demak banyak pula mereka adalah warga negaranya sendiri yang selain sedang melakukan kegiatan berniaga sekaligus juga melakukan tugas dakwah yang dilindungi oleh kedaulatan Demak. Sejak kerajaan Demak berdiri, maka kegiatan dakwah dan niaga dilakukan secara serentak. Mubaligh-mubaligh dan saudagar-saudagar pribumi Demak berdampingan bahu membahu dengan mubaligh-mubaligh dan saudagar-saudagar Arab.
Mereka tidak saja dalam hubungan antara murid dan guru tetapi telah menjadi satu saudara yang dipertalikan oleh satu agama yaitu Islam di bawah daulat kerajaan Demak.
Perlawanan pun mulai digencarkan yaitu pada tahun 1513 dan 1521 yang langsung dipimpin oleh Sultan Yunus. Namun sayangnya pertempuran ini masih bisa dihalau oleh pasukan Portugis yang memiliki kemajuan teknik dan pengalaman di laut sambil berperang, bahkan pertempuran ini menewaskan Sultan Yunus sebagai syuhada’. Peperangan tak berhenti di sini, dengan kata lain perlawanan tetap berlanjut walau sering kali mengalami kegagalan.
Ternyata pertahanan yang dilakukan Demak ini membawa dampak negatif dalam sisi internal. Pemerintahan pusat di Demak lebih mencurahkan kegiatannya pada masalah politik terutama politik luar negeri. Penggarapan terhadap masalah-masalah sosial, pendidikan, kemakmuran dan sebagainya tidak seimbang. Dan yang paling diabaikan adalah masalah kaderisasi atau pembinaan generasi muda untuk calon-calon pengganti mereka di masa datang. Yang terasa pula ialah bahwa jalannya dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar tidak terorganisir seperti sedia kala. Padahal pelaksanaan politik yang lepas dari dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar dengan mudah akan menimbulkan penyelewengan-penyelewengan politik, politik menjadi lepas dari norma-norma Taqwallah, maka akibatnya menjurus kepada gejala “politik menghalalkan segala cara”. Kalau sudah demikian, pasti goyahlah sendi-sendi kerajaan, jauhlah hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah, dan jurang itu akan semakin melebar jikalau tidak cepat dijembatani. Oleh karena itulah, merenggangnya hubungan penguasa dengan para ulama juga bisa dijadikan sebagai penyebab melemahnya kerajaan Demak. Pendek kata, Islam sebagai pedoman hidup harus tetap dijaga, komunikasi yang baik antara para ulama dan para penguasa sangat penting untuk diwujudkan.
Demak telah berakhir, namun Islam tidaklah berakhir.
Intervensi Portugis secara tidak langsung justru menyokong bagi penyebaran Islam. Dengan hancurnya kekuasaan Malaka, para guru dan misionari Muslim berpindah ke Sumatra Utara, Jawa, Molucca, dan ke Borneo. Setelah hancurnya kekuasaan Malaka, tiga pusat utama kehidupan politik dan kultural Muslim tumbuh berkembang. Di Aceh, sultan Syah Ali Mughayat menyatukan lawan-lawan Portugis, dan berhasil mengalahkan mereka pada perang di Pidie 1521 dan pada perang Pasai tahun 1524, menaklukkan wilayah pesisir utara kerajaan Aceh yang menjadi pusat persaingan utama pihak Portugis. Antara tahun 1529-1587 Aceh melancarkan usaha-usaha secara berkesinambungan untuk merebut kembali Malaka. Antara tahun 1618 dan 1620, kerajaan Aceh merebut Pahang, Kedah, dan Perak. Puncak kekuasaan Aceh tercapai pada masa pemerintahan Iskandar Muda (1607-1636), yang mengorganisir sebuah rezim yang efektif dan memperkokoh dominasinya atas para penguasa lokal (uleebalang) dan berbagai kelompok perkampungan. Ambisi Sultan Iskandar untuk menguasai seluruh wilayah semenanjung ini dipatahkan oleh kekuatan pemerintahan Malaya lainnya pada tahun 1629.
Beberapa kesultanan Muslim didirikan di semenanjung Malaya pada abad 15 dan abad 16. Di antaranya yang paling besar adalah kesultanan Johor (1512-1812). Kesultanan Johor tidak merupakan sebuah dinasti, melainkan sebuah wilayah kewenangan yang diperintah oleh beberapa penguasa yang berbeda. Johor bertempur melawan Aceh dan Portugis untuk memperebutkan kekuasaan atas Malaka.
Jawa menjadi wilayah bagi pusat kekuasaan Muslim ketiga. Antara tahun 1513 dan 1528, sebuah koalisi kerajaan Muslim mengalahkan kekuasaan Majapahit, dan tumbuhlah dua negara baru di wilayah pusat Jawa, yaitu kerajaan Banten di Jawa Tengah dan Jawa Barat (didirikan pada tahun 1568), dan kerajaan Mataram di wilayah timur Jawa Tengah.
Melanjutkan perjalanan Portugis, setelah berhasil mengacau perdagangan di Malaka, mereka mulai menemukan pedagang Melayu yang melarikan diri ke daerah lain seperti Demak dan Makasar. Mereka yang menyelamatkan diri ke Maluku, oleh Portugis diikuti jejaknya seolah dijadikan “guide”, penunjuk jalan untuk menemukan Maluku.
Islamisasi di Maluku pada saat itu sudah berkembang, yaitu sejak pertengahan abad ke limabelas. Hal itu ditandai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam yang dipimpin oleh penguasa-penguasa yang taat beribadah dan sangat memperhatikan dakwah Islam.
Keadaan seperti itulah yang tidak disukai Portugis. Mereka mulai menggunakan taktik adu domba untuk kembali melakukan misi utamanya, yaitu menjajah bumi Nusantara dan menghancurkan Islam. Karena usia Islam masih muda di Ternate, Portugis yang tiba di sana pada tahun 1522 M berharap dapat menggantikannya dengan agama Kristen. Harapan itu tidak terwujud. Usaha mereka hanya mendatangkan hasil yang sedikit. 
Hingga pada suatu saat, seorang utusan dari Roma yang terkenal, Fransisco Xaverius, melakukan kristenisasi besar-besaran sekitar tahun 1546 padahal ratusan tahun yang lalu Islam sudah memasuki Maluku dan penduduk gugusan pulau-pulau yang padat itu telah memeluk agama Islam. Menghadapi tantangan seperti itu maka tidak sedikit terjadi perlawanan terhadap pasukan-pasukan Portugis yang membawa agama Katholiknya. Dakwah Islam itu mencapai puncaknya ketika motivasinya didorong oleh unsur politik membela kepentingan bangsa dan tanah air berhubung dengan perbuatan Portugis yang melukai sentimen nasional yang sangat kuat.
Akhirnya tindakan kristenisasi tersebut membangkitkan semangat juang di kalangan kaum Muslimin Maluku. Sultan Ternate mengambil inisiatif utnuk mengadakan tindakan timbal balik. Keras dihadapi dengan keras, sentimen dengan sentimen, ekspansi atau perluasan daerah diimbangi dengan ekspansi pula. Itu sebabnya, di mata Gereja Katholik, Sultan Ternate dipandang sebagai “orang keras paling dibenci”. Hal itulah yang oleh pemimpin Gereja sendiri akhirnya diakui sebagai suatu fanatisme yang meluap-luap. Ya, tetapi siapa mendahului siapa?
Sekali pun penyebaran Kristen demikian pesat di kepulauan Maluku, namun dakwah Islam terus berkembang baik di kepulauan Maluku Utara, Tengah maupun Selatan. Umat Islam di sana mempunyai potensi yang hidup dan sanggup berdiri di atas kaki sendiri.
Keadaan pada waktu sekarang tetaplah demikian dan semakin memperlihatkan perkembangan Islam yang mantap dan maju. Hal itulah yang membuat kesadaran di kalangan pemeluk agama Kristen tentang keadaan Islam yang sebenarnya di Maluku.

2. Masa Penjajahan Belanda
Penindasan Belanda atas Islam justru menjadikan Islam mampu meletakkan dasar-dasar identitas bangsa Indonesia. Selain itu Islam juga dijadikan lambang perlawanan bagi imperialisme. Bagi para penguasa pribumi, memeluk agama Islam berarti memiliki dua senjata. Pertama, mendapat dukungan dari rakyat, karena rakyat banyak dari kalangan petani dan pedagang yang telah menjadikan Islam sebagai agamanya. Kedua, selain para penguasa dengan memeluk agama Islam mendapatkan dukungan rakyat, juga dapat memiliki senjata dalam melawan agresi agama dan perdagangan dari imperialis barat.
Kehadiran ulama dalam masyarakat telah diterima sebagai pelopor pembaharu dan pengaruh ulama pun semakin mendalam setelah berhasil membina pesantren. Ternyata pesantren itu tidak hanya merupakan lembaga pendidikan, tetapi juga merupakan lembaga penyemaian kader-kader pemimpin rakyat, sekaligus berfungsi sebagai wahana merekrut prajurit sukarela yang memiliki keberanian moral yang tinggi.
Sepintas lalu ulama hanya terlihat sekedar sebagai pembina pesantren. Akan tetapi, peranannya dalam sejarah cukup militan. Diakui oleh Thomas Stanford Raffles bahwa ulama merupakan part nearship para penguasa dalam melawan usaha perluasan kekuasaan asing di Indonesia. Dengan demikian, ulama memegang peranan multifungsi, termasuk bidang politik dan militer.
Kelanjutan dari pengaruh ulama yang demikian luas tersebut tidak hanya terbatas dibidang politik dan militer saja, melainkan meluas juga terhadap ekonomi yang telah meninggalkan bekas-bekasnya atas the ecology of economic activities. Maka jelaslah Belanda di Indonesia mendapatkan rintangan dari ulama terutama dibidang perdagangan. Belanda melihat kegiatan umat Islam yang mempunyai dwifungsi sebagai pedlar missionaries (da’i dan pedagang). Akibatnya, usaha perdagangan Belanda menghadapi ancaman dari umat Islam

Pemberontakan Santri Abad ke-19
Kondisi yang demikian itu mengubah kondisi pesantren yang tadinya sebagai lembaga pendidikan, berubah menjadi a center of anti ducth sentiment (sebagai pusat pembangkit anti Belanda). Dalam abad ini saja Belanda menghadapi empat kali pemberontakan santri yang besar. Pertama, perang Cirebon (1802-1806). Kedua, perang Diponogoro sebagai peperangan terbesar yang dihadapi pemerintah kolonial Belanda di Jawa (1825-1830). Ketiga, perang Padri di Sumatra Barat (1821-1838). Keempat, di Aceh sebagai pemberontakan santri yang terpanjang atau terlama (1873-1908).
Perlawanan-perlawanan yang dilakukan untuk membebaskan diri dari pengaruh Belanda tidak pernah putus. Akan tetapi, usaha-usaha itu selalu gagal karena beberapa sebab, di antaranya: (1) Belanda diperlengkapi dengan organisasi dan persenjataan modern sementara kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia masih bersifat tradisional, (2) penduduk Indonesia sangat tergantung kepada wibawa seorang pemimpin, sehingga ketika pemimpinnya tertangkap atau terbunuh praktis perang atau perlawanan terhenti dengan kemenangan di pihak Belanda, (3) tidak ada kesatuan antara kerajaan-kerajaan Islam dalam melawan Belanda, karena (4) Belanda berhasil menerapkan politik adu domba, dan (5) dengan politik adu domba itu, banyak penduduk pribumi yang ikut memerangi rekan-rekannya sendiri. 
Pada mulanya Belanda menempuh cara menghancurkan ulama dan Islam dengan melancarkan politik agama non Islam. Akan tetapi, sekali pun gerakan ini dibiayai oleh pemerintah, namun ternyata hanya mampu menarik suku-suku asing dari agamanya.

Dutch Islamic Policy
Melihat perkembangan ulama yang demikian ini, Snouck mencoba memberikan diagnosis yang dijadikan Dutch Islamic Policy. Dia melihat ulama dan santri itu sendiri tidak berbahaya, sekalipun mereka berada di desa-desa dekat dengan para petani. Oleh karena itu diciptakan diagnosis “Menciptakan ulama dan santri di desa-desa menjadi tuna politik (depolitisasi).” Pemerintah tidak perlu takut kepada ulama dan santri, asal mereka dijauhkan dari propaganda politik, baik dari kegiatan politik dalam negeri maupun luar negeri.
Untuk merealisasikan diagnosis tersebut, dianjurkan supaya pemerintahan menjalankan dwikebijaksanaan (twin policies), yakni menganjurkan adanya toleransi agama, dan menindak dengan kekerasan terhadap ulama yang masih melanjarkan kegiatan politik dan militer.

Mematahkan Ulama Melalui Tanam Paksa
Untuk dapat mencapai target diagnosis tersebut, Belanda memerlukan kawan. Snouck menasehatkan supaya pemerintah menggunakan tenaga Pangreh Praja. Keadaan Jawa memungkinkan untuk tujuan tersebut. Belanda telah berhasil melumpuhkan basis suplai ulama dan santri. Pengreh Praja yang merasa mendapatkan keuntungan dari tanam paksa, dengan menyalahgunakan kekuasaan telah ikut memperluas dan meratakan kemiskinan rakyat.
Ulama dan santri yang bermata pencaharian sebagai petani akan mudah dipatahkan dengan penguasaan atas tanah. Tanam paksa benar-benar telah melumpuhkan rakyat. Pemerintah takut terhadap ulama dan santri Jawa Barat yang memberontak selama mereka mampu menguasai tanah sawahnya. Karena itu pelaksanaan tanam paksa harus diperkeras dan diperlama. Akibatnya, kemelaratan benar-benar menindih kehidupan petani muslim di Jawa Barat.

Rusaknya Mental Penguasa Pribumi
Petani sebagai basis suplai yang telah rusak kehidupannya, tidak mendapatkan pembelaan dari Pangreh Praja saat itu. Raja-raja tidak mampu berbuat untuk menolong rakyat. Mereka telah kehilangan syari’at Islam sebagai landasan hukum dasarnya. Selanjutnya, Ronggo Warsito memberikan gambaran tentang sikap penguasa pribumi setelah lepas hubungannya dengan ulama. Tingkah laku mereka mengejar kemewahan, menambah merajalelanya penderitaan rakyat.
Kondisi yang demikian digambarkan oleh Harry J. Benda: Bangsawan Indonesia telah kehilangan tambatan budaya dan politik mereka sebagai akibat penaklukan Belanda.

Depolitisasi Ulama Desa
Kedudukan ulama benar-benar menyedihkan. Ulama desa yang tuna politik tidak tahu tentang struktur pemerintahan di atasnya. Para ulama desa dan pengikut-pengikutnya diputuskan hubungannya langsung dengan kalangan priyayi atau bangsawan di atasnya. Mereka tidak memiliki pengetahuan apapun tentang struktur kenegaraan.
Berita Nahdlatul Ulama dalam hal ini memberikan gambaran betapa parahnya orientasi ulama saat itu, antara lain: “Para ulama kita satu dengan yang lainnya tak kenal mengenal atau kurang rapat hubungannya hanya selaku kenalan saja. Tiada sampai pada bersama-sama kerja untuk agama dan umat umum. Bahkan kadang-kadang ada kalanya yang diantara mereka sembur-semburan antara satu dengan yang lainnya, dikarenakan berselisih dalam masalah atau sebab lain. Sebagian dari mereka tidak mengetahui keadaan kehinaan umat Islam yang diluar pagar rumahnya.” 

Membangkitkan Gerakan Nasional
Waktu yang tepat untuk mengadakan perubahan akhirnya datang pula struktur penjajahan yang ingin menciptakan Pax Neer Landica telah menemukan efek samping yang menguntungkan umat Islam Indonesia. Penindasan yang diderita telah melahirkan persamaan nasib. Islam bagi bangsa Indonesia identik dengan tanah air.
Para ulama mencoba menggerakkan masyarakat dengan melalui waktu-waktu yang sangat menguntungkan dalam pendidikan. Dicobanya mendidik masyarakat supaya motifasinya bangkit kembali dibidang ekonomi perdagangan. Untuk keperluan ini H. Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (16 oktober 1905). Setahun kemudian dirubahnya menjadi Sarekat Islam.
Tetapi Belanda melihatnya dari segi lain bahwa dengan adanya organisasi atau perserikatan diartikan sebagai usaha membina persatuan, sebagai cara baru dalam kebangkitan Islam. Apalagi aktivis SDI selanjutnya membentuk kerjasama dagang antara Islam dan Cina Kong Sing. Sedangkan policy Belanda sejak abad ke-18, berusaha mencegah asimilasi antara Cina dan Islam. Kesatuan Cina dengan umat Islam akan mudah dijalinnya, karena latar belakang sejarahnya memudahkan kesatuan tersebut. Sebagai misal sebagai hubungan umat Islam Cirebon dengan Cina pada abad ke-15, yang dikisahkan dalam Carita Purwaka Caruban Nagari, bahwa panglima Wai Ping dan laksamana Te Bo beserta pengikutnya mendirikan mercusuar di bukut Gunung Jati. Kesatuan Cina dalam susuhunan Mataram yang disertai dengan masuknya Cina kedalam agama Islam, mengilhami Belanda untuk melahirkan kebijaksanaan yang berusaha memisahkan asimilasi antara Islam dengan Cina. Kebijaksanaan Belanda yang mencegah terjadinya asimilasi pada abad ke-20 adalah mudah dimengerti. Persoalannya terletak pada latar belakang sejarah mereka. Negara cina juga sedang bertujuan menetang imperialisme barat, sedangkan Indonesia memiliki sejarah yang sama. Oleh karena itu, bila terjadi asimilasi, berarti mempercepat proses gulung tikarnya Belanda di Indonesia.
Telah jelas bahwa pihak Islam telah menampung asimilasi tersebut dan di Negara Cina telah berkobar revolusi Cina, karenanya dengan berbagai provokasi Belanda menimbulkan bentrokan fisik antara Cina dengan umat Islam. Pancingan ini berhasil melahirkan pemberontakan anti-Cina di Solo. Akibat pemberontakan ini sangat menguntungkan Belanda yang pada awal mulanya ketakutan terhadap menularnya revolusi Cina ke Indonesia. Bila revolusi ini benar-benar menjalar, sukar ditumpasnya, karena telah adanya persatuan antara Islam dengan Cina. Dengan adanya pemberontakan tersebut, selesailah usaha mencegah asimilasi, dan Belanda merasa aman baik terhadap ancaman gerakan nasional dari bantuan Cina, maupun dari bahaya menjalarnya revolusi Cina ke Indonesia. Dengan demikian, Belanda telah berhasil memisahkan Cina-Indonesia yang dipelopori Islam, sekaligus timbullah hubungan Cina-Belanda menentang perkembangan tuntutan nasionalisme pribumi.

Mencegah Kesatuan Islam-Priyayi
Pemberontakan anti-Cina dalam sejarah dituliskan sebagai perlawanan SDI plus lascar Mangkunegara (1911), yang menyebabkan Belanda mengeluarkan skorsing terhadap kegatan SDI. Tetapi, skorsing hanya berjalan selama 14 hari (12-26 Agustus 1912).
SDI, setelah menerima skorsing mencoba pula mengadakan konsolidasi. Ternyata pilihan SDI tepat sekali, waktu itu SDI merintis jalan untuk menyerahkan pimpinan SI kepada H. O. S. Cokroaminoto. Seperti yang kita ketahui, pilihan ini mempunyai motivasi yang sesuai dengan tuntutan zamannya. Pada masa itu, tokoh priyayi masih mempunyai nilai tersendiri di mata rakyat. H. O. S. Cokroaminoto selain seorang muslim yang demokrat juga mempunyai darah ningrat, dan lebih dari itu beliau adalah seorang pemimpin yang brilian.
Hanya dalam waktu empat bulan SI telah sanggup mengadakan konggres I di Surabaya (26 Januari 1973) konggres ini mendapatkan dukungan masa rakyat yang luar biasa. Belanda ketakutan terhadap usaha SI yang berusaha menyadarkan rakyat akan politik. Pemerintah mulai melarang pembentukan sentral SI. Larangan ini tidak mempan, CSI dibentuk di Surabaya (1915). Umat Islam yang tadinya diharapkan oleh pemerintah colonial menjadi tuna politik (depolitisasi), justru sekarang bangkit berjuang menyadarkan rakyat untuk menuntut pemerintahan sendiri. 
Menghadapi kebangkitan umat Islam dengan gerakan nasionalnya, Belanda mencari jalan lain. Pemerintah mencoba memecahkan hubungan antara umat Islam dengan kalangan priyayi. Lebih-lebih perlu dijauhkan kalangan Pangreh Praja dari gerakan politik yang dilancarkan SI. Dengan “Perintah halus”-nya, Belanda berhasil menciptakan iklim pertentangan antara SI dan priyayi.
Pertentangan semacam ini semestinya menurut perhitungan pemerintah akan menghentikan aktivitas SI. Ternyata pertentangan priyayi-ulama di lain pihak menumbuhkan gerakan baru, yakni perserikatan ulama di Majalengka (1917) yang dipimpin oleh K. H. Abdul Halim. Gerakan ini kerjasama dengan SI, sekalipun mengkhususkan dalam bidang sosial pendidikan. Kemudian disusul dengan berdirinya Persis (1920).

Memperalat Komunisme
Pemerintah Belanda dengan berbagai usaha ingin mematahkan gerakan nasional yang digerakkan oleh umat Islam. Meskipun perpecahan ulama-priyayi oleh pemerintah Belanda, ternyata tidak menghalangi gerakan membangkitkan gerakan politik nasional.
Sneevlite sebagai tokoh komunis pertama di Indonesia berhasil menciptakan pertentangan dalam kalangan SI. Semaun dan Darsono terpengaruh oleh marxisme, dan mencoba membelokkan Islam sebagai ideologi, serta melancarkan berbagai fitnah terhadap H. O. S. Cokroaminoto, H. Agus Salim, dan Abdul Muis. Akibatnya, gerakan SI berubah, yang tadinya berpusat kepada usaha menanamkan kesadaran politik dan ekonomi nasional terhadap rakyat, setelah adanya serangan Semaun dan Darsono, gerakan terfokus dalam usaha untuk mengamankan SI.
Kerjasama antara imperialisme Belanda dengan komunis akan mudah dimengerti bila kita melihat latar belakang sejarahnya. Gerakan komunis di Eropa, semenjak kegagalan Marx memimpin revolusi buruh dalam pemberontakan komunis di Paris, tidak lagi menentang imperialisme barat tetapi justru cenderung mendukungnya. 
Komunis Belanda mendukung karena takut kehilangan Indonesia sekaligus takut kehilangan predikat sebagai penjajah nomor 3 atau 4 di dunia. Tanpa Indonesia, Belanda hanya merupakan Negara dingin yang kecil di laut utara.
Oleh karena itu, seluruh usaha SI ditolaknya dan berusaha menghancurkan keyakinan rakyat terhadap kepemimpinan H. O. S. Cokroamonoto, H. Agus Salim, Abdul Muis dan Surya Pranoto. Tetapi, kenyataannya sejarah membuktikan, bagaimanapun usaha orang-orang komunis, umat Islam tetap menuntut kemerdekaan.

Masa Penjajahan Jepang
Kemunduran progresif yang dialami partai-partai Islam seakan mendapat dayanya kembali setelah Jepang datang menggantikan posisi Belanda. Jepang berusaha mengakomodasi dua kekuatan, Islam dan nasionalis “sekuler” ketimbang pimpinan tradisional (maksudnya raja dan bangsawan lama). 
Dalam menghadapi umat Islam, Jepang sebenarnya mempunyai kebijaksanaan politik yang sama dengan Belanda. Hanya dalam awal pendekatannya, Jepang memperlihatkan sikap bersahabat, karena Jepang berpendirian bahwa umat Islam merupakan powerful forces dalam menghadapi sekutu. Latar belakang sejarah umat Islam yang anti imperialisme Barat, memiliki kesamaan tujuan dengan perang Asia Timur Raya. Sikap umat Islam yang yang demikian itu akan dimanfaatkan oleh pemerintahan kolonial Jepang.
Tetapi tentara Jepang tidak menghendaki adanya parpol Islam. Mereka lebih menyukai hubungan langsung dengan ulama daripada dengan pemimpin parpol. Oleh karena itu, Jepang mengeluarkan maklumat pembubaran parpol. Dalam menghadapi tentara Jepang, umat Islam bertindak untuk sementara menyetujui pembubaran tersebut dengan mengeluarkan maklumat juga.
Tindakan Jepang ini jelas menunjukkan rasa takutnya terhadap Islam sebagai partai politik. Tapi di suatu pihak, Jepang menyadari potensi umat Islam dalam menunjang tujuan perang. Sekalipun Jepang tidak menyetujui dan tidak menyukai berhubungan dengan pemimpin parpol Islam, namun Jepang memerlukan para ulama untuk membentuk wadah organisasi baru untuk membina ulama dan umat Islam.
Untuk tujuan di atas dibentuklah Kantor Urusan Agama (KUA) dengan ketuanya kolonel Horie yang telah dipersiapkan konsepnya sebelum Jepang mendarat di Indonesia. Karena begiitu Belanda menyerah tanpa syarat pada 8 maret 1942, pada akhir maret 1942 pembentukan KUA tersebut telah siap. Selain itu dibentuk pula Tiga A (Nippon Pemimpin, Pelindung, dan Cahaya Asia). Dengan adanya Tiga A ini, berdasarkan konsep Shimizui, dibentuklah Persiapan Persatuan Umat Islam (PPUI).
Pada tanggal 4 September 1942 melalui Tiga A diadakan musyawarah pertama di Hotel des Indes. Hasil dari musyawarah ini, umat Islam menghidupkan kembali MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang berdiri tahun 1938 dan memilih W. Wondoamiseno sebagai ketua. Sekalipun Jepang sangat memerlukan bantuan umat Islam tetapi timbul rasa takut terhadap persatuan dan kebangkitan umat Islam.
Mayor Jendral Okazaki lebih menekankan perhatian pemerintahannya kepada ulama daripada MIAI. Dengan cara ini diharapkan dapat mematikan MIAI yang berkedudukan di Jakarta. Usaha di atas ini jelas gagal. Betapa mungkin KUA dapat diperalat untuk menghancurkan MIAI.
Orang Jepang harus menyadari bahwa Islam bukanlah hanya sekadar agama, tetapi merupakan keseluruhan way of life yang telah menyebar ke segenap lapisan masyarakat. Umat Islam Indonesia telah lama berjuang menentang imperialisme Barat. Hal ini sesuai dengan dasar mengapa umat Islam dapat bekerja sama dengan Jepang. Untuk memelihara kerja sama ini hendaknya kita saling menghormati agama kita masing-masing. Perbedaan agama tidaklah menjadi penghalang perbedaan tersebut.
Sebenarnya Jepang sendiri adalah imperialis. Tetapi bagi umat Islam saat itu tidak ada pilihan lain kecuali menampakkan sikap yang demikian itu. Sebaliknya Jepang juga tidak ubahnya dengan Belanda berusaha untuk menghancurkan Islam. Tetapi kondisi peperangan yang menuntut bantuan stabilitas dalam negeri, memaksa Jepang untuk mendekati umat Islam. Harry J. Benda menyatakan melalui propaganda Jawa Baru, umat Islam membangkitkan Pan-Islamisme. 

Mengawasi Pesantren
Tentara Jepang banyak mewarisi hasil karya belanda, kebijaksanaan politik Islamnya Belanda, dicoba direvisi sedikit. Perang dunia II menuntut Jepang untuk menggerakkan massa Islam berpihak kepadanya. Untuk itu diletakkanlah Nippon's Islamic Grass Roots Policy (kebijaksanaan politik Jepang terhadap kalangan rakyat jelata Islam). Sasarannya adalah pesantren, desa, dan ulama, dan menjadikan ulama menjadi pemimpin sipil terdepan yang berpartisipasi menciptakan ketentraman dan kewaspadaan. Penguasa kepada ulama berarti bahwa Jepang menguasai desa dan pesantren.
Untuk melaksanakan policy di atas, Jepang menggunakan media pendidikan sebagai alat propagandanya. Para ulama perlu ditingkatkan partisipasinya dengan diadakan semacam kursus kilat, tujuannya untuk meningkatkan kesadaran ulama terhadap situasi dunia dan semangat ulama supaya dapat sepenuhnya membantu Jepang.
Inilah sebagai pelaksanaan Islamic Gross-roots policy-nya jepang. Di satu pihak Jepang menolak mentah-mentah eksistensi parpol Islam, tetapi di lain pihak Jepang lebih menyukai mempolitikkan ulama. Dengan cara ini Jepang berharap dapat menyalurkan potensi laten pesantren kepada kepentingan perangnya.

Pembela Tanah Air (PETA)
PETA dibentuk pada tanggal 10 September 1943 oleh Gatot Mangkupraja kawan Bung Karno. "Tetapi harus diingat bahwa Jepang bagaimanapun juga adalah imperialis". Dasar inilah yang membuat pembentukan PETA lebih bersifat politik daripada ketentaraan. Pembentukan PETA bukan hanya karena permohonan Gatot Mangkupraja, ataupun usulan milisi dari R. Sutarjo, karena Jepang sendiri telah memiliki konsep tentang pembentukan tentara pribumi.
Untuk merealisasikan tentara pribumi ini diserahkan pada Beppen (Seksi khusus, dinas intelijen). Segera Beppan membentuk Jawa Bo-ei Giyugun Kanbu Renseitai (Korps latihan perwira pasukan sukarela pembela tanah air Jawa) di Bogor. Disinilah ulama dilatih sebagai calon daidanco (komandan batalion).
Untuk mendapatkan dukungan lebih banyak dari umat Islam, maka dikatakan bahwa tugas peta sebagai tugas suci. Daidanki (Bendera peta) dengan lambang bulan bintang ini dijelaskan oleh Kan Po sebagai lambang yang dihormati oleh rakyat di Jawa.
Tujuan penguasa militer Jepang sebenarnya tidak akan menciptakan kesatuan, tetapi hanya menginginkan kerja sama lebih mudah dengan umat Islam Indonesia.adapun usaha Jepang bertujuan; 1. Menanamkan semangat Nippon, 2. Menumbuhkan loyalitas ulama terhadap Jepang, 3. Meyakinkan kebencian ulama terhadap sekutu, 4. Perang asia Timur Raya adalah perang suci, 5. Menambahkan keyakinan bahwa Jepang dan Indonesia adalah satu nenek moyang dan satu ras.
Tujuan di atas menumbuhkan sikap takut Jepang akan timbulnya kesatuan umat Islam. Peta selain diharapkan bantuannya, juga disiapkan untuk memecah belah struktur organisasinya. Namun ulama masih sanggup memanfaatkan Peta untuk membangkitkan semangat keprajuritan. Usaha ulama inilah yang menjadikan peta sebagai wadah pembibitan pemimpin TNI nanti di kemudian hari.

Bait A-Mal dan Jawa Hokokai
MIAI dalam memanfaatkan perubahan selama penduduk Jepang, digunakan pula untuk menghimpun dana. Dari dana ini diharapkan dapat membiayai pembinaan umat. Untuk itu MIAI diluar KUA mengadakan gerakan pengumpulan zakat Bait Al-Mal (BAM). Usaha ini terlihat nyata di Bandung yang dipelopori oleh bupati Wiranta Kusuma dan meluas di seluruh Jawa terbentuk 35 cabang (BAM).
Tampaknya Jepang tidak sejalan dengan tindakan MIAI membentuk BAM tanpa Backing dari KUA. Untuk mengimbangi atau mematikan BAM, Jepang melancarkan kegiatan Jawa Hokokai (kebangkitan rakyat), dan Tonari Gumi (rukun tetangga) usaha ini benar-benar berhasil tertunjang oleh kondisi peperangan sehingga BAM tidak bisa melanjutkan usahanya.

Masyumi
Pengaruh MIAI cukup membahayakan. MIAI masih sanggup menunjukkan kemampuannya menggerakkan massanya, berbeda dengan partai sekuler lainnya yang sudah tidak mampu menampakkan potensi massanya lagi. Oleh karenanya Jepang mencoba menghilangkan pengaruh MIAI dengan membentuk Majelis Syura Muslimin Indonesia, sekaligus dengan pembentukan organisasi baru ini bertujuan untuk menurunkan pimpinan MIAI dengan mengangkat Hasyim Asyari sebagai ketua Masyumi. Jepang mengharapkan timbulnya perpecahan di kalangan umat Islam. Tetapi kenyataannya perkembangan Masyumi sangat cepat kontras sekali dengan Putera dan Hokokai.
Sejak awal Jepang telah mencoba untuk menetralisir Masyumi dari kegiatan politik. Karena itu pimpinan Masyumi disumpah untuk membebaskan dirinya dari kegiatan politik apapun. Dengan demikian Masyumi dapat menjadi wadah yang menjauhkan umat Islam dari politik. Usaha ini juga mempunyai latar belakang lain, yaitu agar Jepang mudah mematahkan basis suplai pesantren.

Pemberontakan Santri Peta
Selain menghadapi sekutu, Jepang juga mempersiapkan diri agar dapat mematahkan potensi Islam di Jawa Barat, yang ternyata berakar di desa-desa. Melalui Romusha (prajurit kerja) dan menyerahkan padi, Jepang memperkirakan akan dapat melumpuhkan potensi umat Islam. Ternyata tindakan Jepang dijawab oleh umat Islam dengan adanya pemberontakan santri di Singaparna yang dipimpin oleh Kiai Zainal Musthafa (NU), yang bercita-citakan menegakkan kebahagiaan rakyat di dalam negara Islam yang bebas dari kekuasaan asing. Pemberontakan ini secara fisik berhasil dipadamkan, tetapi tiga bulan kemudian pecah lagi pemberontakan santri yang lebih meluas yang meliputi kecamatan Lohbener dan kecamatan Simpang. Tentara dan polisi Jepang membasmi pemberontakan tersebut. Pemimpin-pemimpin berhasil di tembak mati.
Cita-cita pemberontakan tersebut menginginkan tegaknya kebahagiaan dan negara Islam. Jepang pun segera memberikan janji kemerdekaan yang sejalan dengan cita-cita tersebut. Perdana Menteri dalam sidang Teikoku Gikai ke-85 di Tokyo tanggal 7 september 1944 mengumumkan janji kemerdekaan. Berita ini disampaikan secara resmi kepada rakyat Indonesia dengan menyebutkan gambaran pembentukan "negara Indonesia yang berdasarkan Islam".
Kaum politis Islam setelah pemberontakan terjadi, mereka sibuk dengan menyambut perkenan kemerdekaan. Tetapi Jepang lupa mengulur waktu pelaksanaan janji. Bagi yang menantikan sekalipun baru satu tahun, dirasakan terlalu lama. Apalagi dilakukan tindakan pemerasan yang dilakukan diluar peri kemanusiaan.
Tepat satu tahun setelah pembentukan santri sukamah, di Blitar timbul pemberontakan Peta yang dipimpin oleh Supriyadi (14 februari 1945). Adapun motivasi yang mendorong pemberontakan tersebut yaitu: 1. Tidak tahan melihat penderitaan rakyat, 2. Tidak tahan melihat kesombongan dan kesewenangan Jepang, 3. Janji kemerdekaan itu omong kosong.
Sebenarnya baik pemberontakan santri dan Peta dilancarkan pada saat Jepang sedang menghadapi kehancuran. Bila hal tersebut telah diketahui oleh rakyat banyak, kemudian didukung oleh politis termasuk bung Karno dan bung Hatta, riwayat Jepang tamat lebih awal dari penyerahan di Amerika.








BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa kedatangan Islam ke Nusantara telah memberikan pencerahan dan membawa dampak yang positif bagi masyarakat pribumi Nusantara. Hal ini telah memunculkan sebuah peradaban baru bagi dunia Islam. Peradaban baru tersebut tidak terlepas dari corak dan karakteristik yang dimiliki oleh budaya masyarakat di Nusantara.
1. Islam pada masa penjajahan Portugis menghadapi banyak sekali tantangan. Sikap Portugis yang sangat tidak menyukai Islam terbukti dengan berbagai usahanya dalam mengganggu aktifitas dakwah terutama dalam lewat perdagangan. Dengan semangat juang pemimpin atau raja-raja Islam dalam menghadapi ancaman Portugis itu, maka sebagian besar rintangan bisa dihalau. Namun sayangnya Islam dalam lingkungan Demak sempat mengalami gangguan internal sehingga memperlemah kekuatannya. Walau demikian perkembangan Islam tidak berhenti. Seperti halnya Islam di Maluku yang berhasil bertahan menancapkan perjuangan dakwahnya di tengah-tengah kristenisasi pada masa penjajahan Portugis.
2. Pada masa penjajahan Belanda terjadi pemberontakan pejuang-pejuang Islam yang berkobar untuk membela tanah air. Untuk menghadapi umat Islam, Belanda menggunakan cara depolitisasi, yaitu menjadikan para ulama tuna politik. Selain itu, banyak taktik Belanda yang lainnya seperti adu domba antara Islam-Priyayi, tanam paksa dan lain-lain. Namun tentu saja umat Islam tidak selamanya berdiam diri dalam urusan politik, sehingga mulailah bermunculan organisasi-organisasi bernuansa Islam di sekitar awal abad ke dua puluh. Inilah permulaan kembalinya Islam di kancah politik secara nasional.
3. Perkembangan Islam pada masa Jepang ini sangat berarti, karena kebijaksanaan yang diberlakukan bangsa Jepang sedikit berbeda dengan Belanda, walau intinya tetap sama yaitu dalam mengeruk kekayaan Indonesia alias imperialisme. Dengan demikian Islam dapat lebih berperan dalam kehidupan kenegaraan walaupun tak sedikit pula tekanan dari pihak Jepang. Perkembangan Islam ini dapat dilihat dari keterlibatan umat Islam di dalam organisasi politik dan militer baik bentukan anak negeri maupun bentukan Jepang.

3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam memahami corak islam pada abad 17. Sehingga mahsiswa dapat lebih mengahargai islam yang sebenar benarnya. Melihat perjuangan yang ada disaat dahulu untuk kejayaan islam saat ini. Dan dapat mengenbangkan atau memberikan corak islam yang lebih baik disaat ini dan seterusnya.


DAFTAR PUSTAKA

http://khozin.staff.umm.ac.id/download-as-pdf/umm_blog_article_106.pdf.
http://www.docstoc.com/docs/27625108/SEJARAH-ISLAM-DI-INDONESIA,
http://maulanusantara.wordpress.com/2010/04/09/tasawuf-falsafi-di-nusantara-abad-ke
xviim/.
http://idb1.wikispaces.com/file/view/mn1002.pdf.



No comments:

Post a Comment